ISLAM ADUK-ADUKAN/KADZABA (Transmisi Falsafah Yunani ke dalam Islam)
Di samping mengembangkan ilmu-ilmu agama, seperti Tafsir, Hadits,
Fiqh, dan Ilmu Kalam, umat Islam sebagaimana terlihat dalam sejarah,
juga mengembangkan Filsafat Islam. Melalui kajian filsafat ini,
berbagai masalah yang berisikan gagasan, pemikiran, renungan secara
mendalam tentang berbagai hal yang terdapat dalam kehidupan ini dapat
ditemukan.
Melalui filsafat ini umat Islam di samping
dapat melaksanakan ajaran yang bersifat formal, ritual, dan lahiriah,
juga dapat menangkap pesan-pesan spiritual dan moralitas yang
terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian, umat Islam tidak akan
terjebak kepada hal-hal yang bersifat ritualistik, lahiriah, kosong
tanpa makna, melainkan juga yang bersifat batiniah dan penuh makna.
Filsafat
sendiri telah ada, tepatnya di Yunani, jauh sebelum Islam yang
dimurnikan kembali oleh rasul SAW terlahir. Lantas bagaimana proses
transmisi falsafah Yunani ke dalam Islam? Tulisan singkat ini akan
mengupas sekelumit sejarah terkait hal tersebut.
Latar belakang
Dalam sejarah agama dan kebudayaan Islam terdapat lima abad yang menyaksikan suatu kegiatan filsafat yang menakjubkan, yakni antara 100-595 tahun Hijriah atau 720-1198 Masehi. Dalam
kurun waktu itu para ahli pikir Muslim terbawa untuk memikirkan
kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama serta terhadap alam dunia
dengan bertitik tolak dari daya akal murni. Mereka itu memikirkan
kondisi insani pada latar belakang hakikat terakhir serta sampai urat
tunggang yang terdalam. Mereka memikirkan masalah zat dan wujud hidup
secara kritis dan sistematis. Hasil pemikiran itu dikerjakan untuk
menyusun sistem-sistem serasi yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal
budi. Alhasil mereka memperoleh hikmah serta menjadi hakim, tegasnya
timbullah filsafat dan kaum filsuf.
Dalam kerja
pikir mereka ditemukan dua pendekatan berlainan terhadap iman dan
agama. Terdapat alim ulama yang menggunakan metode rasionil untuk
menyelesaikan soal-soal iman. Mereka terbagi dalam dua kelompok yaitu
Mu’tazilah dan Mutakallimun. Sebaliknya muncullah para failasuf yang,
setelah menyusun sistemnya, berusaha untuk menyesuaikannya kepada
tuntutan akidah dan syariat. Kedua golongan melakukan filsafat dalam
arti wajar. Hal ini tidak terlepas dari persoalan-persoalan karena di
dalamnya terdapat kekaburan besar serta banyak syubhat.
Para
ulama atau ahli kalam memanfaatkan filsafat untuk membela rukun iman
dan untuk menangkis serangan tehadapnya. Para failasuf mencoba
membuktikan bahwaq kesimpulan mereka tidak bertentangan dengan rukun
iman, yang mana tidak selalu berhasil baik. Jadi corak dari filsafat ini
hanya lahir dan tidak langsung. Karenanya disebut filsafat di dalam
Islam dan bukan filsafat Islam semata-mata. Lain halnya dengan ilmu
kalam, tauhid dan nubuwwat ataupun ilmu tasawwuf yang mendasarkan
penjelasannya langsung pada Qur’an dan Sunnah. Itulah merupakan teologi
wajar. Singkatnya: filsafat memakai dalil aqli (rasio), sedang teologi
memakai dalil naqli (tradisi).
Muslim, Arab dan Yunani
Menurut
intelektual Muslim Ibnu Khaldun dan Ismail Ragi Al-Faruqi, urubah
atau kepribadian Arab merupakan infrastruktur mental dari Islam.
Walaupun di antara para failasuf Muslim hanya terdapat satu orang Arab
asli (Al-Kindi), namun semuanya berpikir dan menulis dalam bahasa
Arab. Bahkan sarjana-sarjana Masehi dan Yahudi pun, yang mengikuti
salah satu sistem filsafat Islam, menuangkan hasil pikirannya dalam
bahasa Arab. Tetapi isi pokok seluruh filsafat itu berasal tradisi
pemikiran asing, yaitu Yunani. Dari situlah timbul hubungan antara
Muslim, Arab dan Yunani.
Bangsa Arab, selaku cabang dari
rumpun semitis (samiya), mempunyai gaya-pikirkhas yang dicerminkan
dalam struktur bahasa mereka. Ciri khusus pemikiran menunjukan suatu
pengalaman kenyataan tertentu, yaitu pengalaman jadali. Sifat
menghadapi kenyataan secara jadali itu disebut dialektis, dualistis
atau paralelisme antithesis. Ini bukan dialektik Yunani atau Marxis,
melainkan dialektik antara dua wujud pengetahuan yang mutlak berbeda,
tapi saling berkaitan. Menurut sikap mental itu selalu ada dua hal
yang dipertentangkan, misalnya: Khaliq-makhluq, mu’min-kafir,
baqa-fana, wujud-‘adam (tidak ada), ghayb-syuhud, halal-haram,
haq-batal, ma’ruf-munkar, wajib-mumkin, dan lain-lain.
Gerak
pikiran berkutub dua tanpa pengantara. Kedua kutub berlawanan
dinyatakan serentak dan parallel tanpa medium. Sifat jadali itu
berkembang dalam kosakata Arab, dalam kata-kata ‘addid’, yaitu sepatah
kata dengan dua arti yang berlawanan satu sama lain; misalnya haram
yang berarti suci-murni dan cemar-dosa. Pemandangan dunia yang bercorak
jadali itu dengan mudah dapat dicocokkan dengan iman akan
transendensi (tanzih) dan kekuasaan Allah terhadap manusia yang dhaif
dan halik. Dengan mudah juga menerima pandangan dunia diskontinu dan
atomistis.
Corak utama dari cara berpikir Yunani adalah
sintetis, kontinu dan analogis. Sistem-sistem filsafat Yunani menuju
konstruksi hierarkis seluruh kenyataan. Dualitas hal ihwal dijabarkan
dari kesatuan. Perbedaan pokok dua keadaan disoroti dari satu sudut.
Anatara wujud dan ‘adam diletakkan yang mungkin ada. Antara punya dan
tidak punya diakui adanya steresis (privatio), suatu kata yang tidak
ada dalam logat Arab. Kesempurnaan sesuatu dapat dipartisipir oleh
kurang sempurna secara analogi.
Sedemikian halnya budi Yunani berlainan diametral dari budi Arab. Padahal
para filsuf muslim yang memahami bahasa Arab itu bergumul untuk
mentransponir metode dan sistem filsafat Yunani dalam kategori berpikir
Arab. Hasilnya adakalanya sistem ambivalen atau jalan pikiran yang tidak konsekuen. Hanya sistem
atomisme, salah satu produk dari filsafat Yunani yang begitu subur
dan pusparagam itu, berhasil berakar dalam ilmu pengetahuan Islam. Dengan tepat L.Gardet dan M. Anawati mendefisinikan filsafat
dalam Islam ini sebagai “filsafat yang secara esensil berinspirasi
platonis-aristotelis, diungkapkan dalam bahasa Arab dan dipengaruhi oleh
Islam.
Hilangnya filsafat dari gelanggang
pemikiran Islam tidak berarti bahwa usaha para filsuf itu batal dan
sia-sia. Memang mereka gagal dalam menyediakan suatu infrastruktur
rasionil bagi ajaran Islam. Akal sebagai sumber independen bagi
pengetahuan disingkirkan dari tempatnya dan diganti oleh Quran, hadits,
qiyas dan ijma’ sebagai prinsip-prinsip (ushul) pengetahuan sah. Akan
tetapi jasa ahli filsafat itu tahan waktu dan bermacam dua. Mereka
memperkaya alam filsafat dengan suatu sumbangan orisinil, yang dalam
perbandingan antara sistem-sistem sejenis merangsang pikiran segenap
filsuf. Selain itu mereka menyampaikan obor filsafat Yunani kepada
generasi filsuf penerus. Para cendekiawan Eropa dari abad tengah
mengikuti jejak mereka dan, melalui bimbingan mereka, menemukan jalan
ke sumber-sumber asli filsafat Yunani. Itulah kemudian diolah untuk
membina sintese filsafat skolastik Barat. Dalam pembinaan itu para sarjana filsafat dalam lingkungan Islam merupakan mata rantai yang sungguh berarti.
Lahirnya Filsafat dalam Islam
Antara
sungai Nil dan Tigris terbentanglah hillal subur (Fertile Crescent),
ruang bumi yang sejak Iskandar Zulkarnaen masuk dalam kawasan
kebudayaan hellenis. Corak hellenisme itu antara lain tampak dalam
peristiwa urbanisasi dan pembinaan pusat ilmu pengetahuan dan
pengajaran. Pusat-pusat terkenal terletak di Harran, Edessa,
Yundishapur, Ktesiphon dan Nisibis, di mana karya filsafat dan
kedokteran diterjemahkan dalam bahasa Syiria. Unsur hellenis diperkuat
setelah Kaisar Yustinianus pada 527 menutup akademi neoplatonis di
Athene dan tujuh profesor hijrah ke Ktesiphon. Mereka disambut oleh
Kaisar Khaswraw (Chosroes) pada tahun 529 M, lalu tinggal bersama
mengajar dua puluh tahun lamanya di istana kerajaan. Lembaga-lembaga
lain, di Alexandria, Antiochia, dan Beirut, menyelenggarakan pengajaran
filsafat dan ketabiban dalam bahasa Yunani, tetapi kemudian bersama
dengan perpustakaan dipusatkan di Harran dan Yundishapur juga. Para
pengajar terdiri baik dari orang Serani maupun mereka yang beragama
Khalakiah.
Ketika para penghuni jazirah Arab mengikuti derap hizbullah ke daerah hellenis itu, mereka mengalami suatu krisis identitas dalam bidang sosiologis dan agama.
Mereka pindah dari hidup mengembara, yang berpola qabilah dan kafilah
(tribal commercial nomadism), ke dalam tertib ketat dari kota-kota.
Proses urbanisasi yang, mau tak mau, harus diikuti membawa akibat
negatif bagi rasa paguyubannya. Mereka direnggut dari dasar hidup asli
yang terpendam dalam jiwa Arab. Mereka dahulu membanggakan diri atas
hidup penuh tantangan, yang menonjolkan keutamaan jantan (muruah), serba
bebas dalam luasnya padang pasir tak terbatas, dengan semangat
asabiyah, dengan harapan akan razzia. Sekaranglah mereka
dikotak-kotakkan dalam kota-kota tangsi, sebagai anggota organisasi
tetap, yang harus taat akan birokrasi otoriter yang membalas jasa dan
siasat mereka dengan gaji tetap.
Perubahan
mendadak dan menyeluruh itu menggoncangkan keseimbangan mental asli
sampai terasa frustasi dan sikap suka memberontak. Semasa pemerintahan
khalifah Ali dan Muawiyah (656-680 M) terdapat lebih dari 25
pemberontakan dengan latar belakang ideologis. Tidak puas dengan
status-quo mereka mencari haluan atau pegangan baru yang mengijinkan
mereka menjadi diri sendiri lagi, suatu keseimbangan sosio-psikologis
yang menjamin cara mengada otentik. Orientasi untuk menciptakan suatu
alam pikiran baru diambil dari alam sekitar asing, sampai akhirnya
mereka menghargai corak hidup baru sebagai kemajuan. Kata kebudayaan
dalam bahasa Arab berbunyi: tammadun atau madaniah, yang sebenarnya
berarti urbanisasi (dari madinah).
Langkah kedua dalam
proses akulturasi ini terdiri dari penguasaan ilmu, itu pun secara
sistematis dan radikal sebagai landasan untuk pemahaman hidup dan
organisasi masyarakat. Masyarakat itu dalam hal agama bersifat majemuk.
Biarlah iman para pendatang kokoh, namun mereka diuji mengenai kadar
ilmiahnya. Mutu intelektuil dan sistematis dari agama dan filsafat
yang dijumpai lebih tinggi dari buah budi yang diasuh dalam ruang
lingkup padang pasir. Sebegitu terasa adanya suatu vakum yang secepat
mungkin harus diiisi, agar keyakinan iman mereka jangan diselewengkan
oleh alam pikiran kufur.
Maka tersedialah warisan pikiran Yunani yang disangka dapat meningkatkan dan mempertebal haluan pikiran Arab.
Dahaga akan kesaktian otak Yunani disalurkan melalui dua jalan yang
saling memperkuat. Yang pertama disebut via diffusa yaitu kontak
sehari-hari, koeksistensi pergaulan hidup. Hal itu sudah jelas dari sekian banyak data, istilah dan konsep Yunani, Latin dan Syiria yang masuk bahasa Arab. Yang
kedua, disebut via eruditorum, yaitu hasrat mencari naskah-naskah
Yunani, mengunjungi dan mengundang sarjana Yunani dan berdiskusi dengan
mereka.
Sebagai taraf tertinggi dalam proses akulturasi ini, maka di mana-mana didirikan lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan dan perpustakaan Yunani-Arab. Di antara yang paling berpengaruh yakni:
Baitul Hikmah yang didirikan oleh khalifah Abdullah Al-Makmun di
Baghdad, tahun 833 M; Jamiat Al-Azhar dari khalifah Al-Hakam di Qahira
(972 M); Al-Nizamiyah dari Nizam Al-Mulk, Amir Saljuq di Baghdad 1076
M. Selain pusat ilmiah di Kuffah (635 M), Fustat (640 M), Wasith dan
Basra (700 M), Samarra (835 M), dan Nishapur (889 M). Sedemikian itu
filsafat Yunani berfungsi sebagai daya integrasi masyarakat dalam
situasi baru. Setelah organisasi dinilai cukup kuat, filsafat itu diasingkan dari negara diganti ilmu keagamaan.
Aliran-Aliran Filsafat dalam Islam yang Berhubungan dengan Filsafat Yunani
Mu’tazilah,
sebuah teologi rasionil yang berkembang di Baghdad dan Basrah mulai
abad ke-8. Zaman kejayaannya antara 817-845 M dengan kehidupan kedua
sekitar tahun 1000 M. Ahli Mu’tazilah meminjam konsep-konsep Yunani
tanpa mengikat diri pada suatu sistem tertentu.
Falsafah pertama, istilah ‘falsafah’ dikhususkan bagi sistem ahli pikir muslim yang bertitik tolak dan bersandarkan pada filsafat hellenis. Falsafah pertama ini berkembang antara 850-1037 M, di daerah timur khalifah Abbasiyah dan berhaluan neoplatonis bercampur dengan mazhab peripatetis (Aristoteles). Empat tokoh besar bersama Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Kalam Asyari (900-1085 M) yang berpusat di Baghdad merupakan suatu
sistem teologi yang mempergunakan dalil filsafat Eleatis yang
bercorak atomisme. Sistem itu memperoleh monopoli dalam ilmu muslim
dan disamakan dengan ahl sunnah wal jamaah atau sunnisme.
Tokoh-tokohnya: Al-Asyari, Al-Baqillani, Al-Baghdadi, dan Juwaini.
Seorang pengikut sistem ini, yaitu Al-Ghazali, mengakhiri hidup
filsafat di kawasan timur khalifah Abbasiyah (1105 M).
Falsafah
kedua, berkembang di Spanyol dan di Madrid pada abad ke-12, berhaluan
peripatetis. Tokoh-tokohnya yang paling terkenal: Ibnu Bajjah, Ibnu
Tufail, dan Ibnu Rusyd.
Sumber referensi:
- JWM. Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1978.
- Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2011.
- Unesco, Islam, Filsafat dan Ilmu (judul asli, Islam, Philosophy and science, 1981): Dunia Pustaka Jaya,1984.
Titik Temu Pemikiran Islam dan Hellenisme
Melacak Jejak-Tapak Sejarah Pertemuan Kebudayaan Yunani Vs Islam
Secara Umum:
Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya.
Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di sebelah
utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia.
Interaksi itu berlangsung setelah adanya pembebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., di bawah para khalifah.
Daerah-daerah
yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu adalah
daerah-daerah yang telah lama mengalami Hellenisasi. Lebih dari itu,
kecuali Persia, daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat
peradaban Islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu
mengalami Kristenisasi.
Bahkan sebenarnya daerah-daerah
Islam sampai sekarang ini, sejak dari Irak di timur sampai ke Spanyol
di barat, adalah praktis bekas daerah agama Kristen, termasuk
heartlandnya, yaitu Palestina.
Daerah-daerah itu, dibawah
kekuasaan pemerintahan orang-orang Muslim, selanjutnya memang
mengalami proses Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka
waktu yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai.
Satu
indikasi yang menarik dari pembebasan-pembebasan (futuhat) yang
dilakukan oleh orang-orang Arab-Islam terhadap bangsa-bangsa non-Muslim
itu adalah sikap-sikap penuh penghargaan dan pengertian kepada
bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk agama-agama) yang mereka
kuasai. Hasilnya ialah, seperti dikatakan Halkin sebagai berikut :
“...It
is to the credit of the Arabs that although they were the victors
militarily and politically, they did not regard the civilization of the
vanquished lands with contempt. The riches of Syrian, Persian, and
Hindu cultures were no sooner discovered than they were adapted into
Arabic. Caliphs, governors, and others patronized scholars who did the
work of translation, so that a vast body of non-Islamic learning
became accessible in Arabic. During the ninth and tenth centuries, a
steady flow of works on Greek medicine, physics, astronomy,
mathematics, and philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu
mathematics and astronomy poured into Arabic.”
Interaksi
intelektual orang-orang Muslim dengan dunia pemikiran Hellenik
terutama terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch
dan Ephesus (Syria), Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia).
Di
tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian
dan penterjemahan karya-karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan
Yunani kuna, yang kelak kemudian didukung dan disponsori oleh para
penguasa Muslim.
Gelombang Hellenisme
Gelombang Pertama (tahun 130 H/750 M - tahun 340 H/950 M)
Pada
gelombang pertama ini, ada dua tokoh filosof Islam yang lahir, yaitu;
Al-Kindi (801 M -873 M) dan Al-Farabi (870 M – 950 M).
Pada
tahap awal pertemuan ini, unsur-unsur Neoplatonisme yang menyusup ke
dalam alam pikiran Islam, baik yang sejalan ataupun tidak dengan
Alquran berkisar pada:
- Penegasan akan transendensi Asal Pertama (الاصل الاول) atau Tuhan;
- Emanasi segala yang ada daripadaNya;
- Peranan Akal sebagai perantara penciptaan oleh-Nya dan merupakan letak bentuk benda-benda serta sebagai sumber penerangan jiwa manusia;
- Kedudukan Jiwa pada perbatasan dunia intelek dan sebagai sambungan atau cakrawala antara dunia intelek dan dunia indera; dan
- Sikap merendahkan materi sebagai ciptaan atau emanasi paling hina dari Yang Maha Esa dan tingkat paling bawah dalam susunan kosmis. (Majid Fakhry:Sejarah Filsafat Islam)
Gelombang Kedua (tahun 340 H/950 M - tahun 660 H/1260 M)
Jika
gelombang pertama Hellenisme terjadi pada saat-saat kemunduran rezim
Umayyah di Damaskus dan permulaan kebangkitan kaum ‘Abbasiyyah, maka
gelombang kedua ini berlangsung ketika kekuasaan Baghdad itu mulai
merosot dan situasi politik intern Dunia Islam menjadi tidak menentu.
Pada
tahap ini muncullah tokoh-tokoh falsafah seperti; Ibn Sina (980 M –
1037 M) hingga Quthb al-Din al-Syirazi (1236 M – 1311 M)
Aliran-Aliran Filsafat Islam
Terdapat, sedikitnya, lima aliran dalam filsafat Islam:
1. Teologi Dialektik (‘ilm al-Kalam)
2. Peripatetisme (Masysya’iyyah)
3. Iluminisme (Isyraqiyyah)
4. Sufisme/Teosofi (Tashawwuf atau ‘Irfan), khususnya yang dikembangkan Ibn ‘Arabi
5. Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah)
Penjelasan:
Metode
epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik hampir sama dengan
metode Peripatetisme, yaitu bersifat deduktif-silogistik. Yakni,
prosedur untuk mendapatkan kesimpulan (silogisme) dari mempersandingkan
dua premis. Dalam silogisme Aristotelian, dua premis itu
masing-masingnya adalah premis mayor dan premis minor.
Perbedaan silogistik antara peripatetisme dan Teologi Dialektik adalah sebagai berikut:
Penjelasan:
Sementara
metode epistemologi yang digunakan oleh iluminisme dan sufisme atau
Teosofi (‘irfan) adalah metode intuitif atau eksperiensial. Intuisi
ini, dalam khazanah Islam, diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ad)
atau bahkan dengan ruh, dan sebagainya.
Prinsip dasar
iluminisme, seperti juga Sufisme, adalah bahwa : “mengetahui sesuatu
adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti
intuisi langsung atas hakikat sesuatu.”
Perbedaan
Iluminisme dengan Sufisme –dalam hal ini ‘irfan (teosofi)– antara lain
bahwa, meskipun sama-sama mengandalkan pada pengalaman langsung,
iluminisme percaya pada kemungkinan pengungkapan pengalaman tersebut
melalui bahasa-bahasa diskursif-logis.
Dalam ranah ontologi.
Peripatetisme
Islam tak secara khusus memberikan perhatian pada aspek ontologi. Di
luar aspek epistemologi, aliran peripatetisme banyak membahas tentang
kosmologi.
Sementara aliran ‘irfan, iluminisme, dan filsafat hikmah memberikan perhatian yang cukup jelas pada wilayah ontologi.
1. ‘irfan :
Menekankan pada prinsip kesatuan wujud segala sesuatu dan tingkatan-tingkatan (hierarkhi) nya.
2. Iluminisme
Menekankan
pada filsafat cahaya (nur), yakni pengidentikkan wujud dengan cahaya,
dan non-wujud/nirwujud dengan kegelapan. Di antara keduanya terdapat
lapisan-lapisan wujud antara cahaya dan kegelapan.
3. Filsafat Hikmah
Menekankan
prinsipialitas (fundamentalitas) eksistensi terhadap esensi. Yakni
bahwa yang real –yang memiliki korespondensi dengan realitas– adalah
eksistensi. Sedangkan esensi –penampakan atau atribut-atribut lahiriyah
dan mental– sebenarnya tidak real dan hanya merupakan bentukan
(keterbatasan) persepsi manusia (I’tibari).
Mengembangkankan juga
prinsip ambiguitas (tasykik) wujud. Yakni bahwa wujud bersifat tidak
tetap, melainkan berpindah-pindah dalam hierarki wujud sejalan dengan
gerak substansial.
Surat An Nisaa'/4 ayat 59,"... jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), .... Farudduhu ilallah ditujukan bukan kepada Allah sbg Dzat, tetapi kembalikanlah semua urusan kpda ILMU nya ALLAH, ALQURAN. Surat Al Baqarah ayat 156, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Hubungkan juga dengan Surat Al Alaq/96 ayat 8, Inna illa rabbika ruj’aa. Raji’un, ruj’a sama dengan kata bahasa indonesia RUJUKAN (kembali). “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada ILMU ALLAH ALQURAN jualah kita kembali sebagai rujukan”. Orang
mati, ILMU yang dibawa nya lah yang mati, bukan jasadnya yg mati,
mati jasad adalah proses biologis alam, semua mahluk hidup akan
mengalami, bukan musibah, yg menjadi musibah adalah ILMU yg dibawa si
jasad mati. Kembalikan rujukan ILMU nya hanya kepada AlQuran, karena siapa tahu ILMU yang dibawa si jasad mati tersebut adalah ILMU aduk"an antara AlQuran dan Alam Pikiran Yunani maupun SELERA/HAWA NAFSU (Insting dan Naluri) atau dualisme/musyrik.
Posting Komentar
Posting Komentar