DEFINISI ILMU



Orang Indonesia biasa menerjemahkan ilmu menjadi pengetahuan. Tapi, tidak semua pengetahuan bisa disebut ilmu.

Bangsa Indonesia menerima istilah dan pengertian ilmu pada mulanya dari bangsa Arab yang menyebarkan agama Islam. Tapi pandangan bangsa Arab tentang ilmu agaknya tidak mereka ambil dari Islam (Al-Qurãn).

Pandangan bangsa Arab tentang ilmu dirumuskan dalam pepatah mereka yang berbunyi: al-’ilmu nûrun fil-qalbi (العلم نور فى القلب). Pandangan ini diajarkan di berbagai pesantren dan madrasah, dan diterjemahkan menjadi: ilmu adalah cahaya (dalam) hati.

Jadi, bangsa Arab mengumpamakan ilmu sebagai cahaya, yang berperan menerangi al-qalbu (= akal; pikiran; batin; jiwa). Pandangan ini mengandung kebenaran; tapi sayangnya tidak lengkap. Tentu saja benar bahwa ilmu menjadi cahaya atau penerang bagi kalbu, tapi mereka  tidak menjelaskan dari mana datangnya cahaya itu; apakah datang dari luar atau timbul begitu saja dalam pikiran (= otak) manusia.

Karena tidak jelas disebutkan dari mana sumber ‘cahaya’ itu, maka pandangan bangsa Arab tentang ilmu tersebut, bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan pandangan salah satu ahli filsafat Yunani, yaitu Plato atau Platon (427-347 SM).

Sesuatu yang terdapat dalam ‘hati’ disebut Plato sebagai idea, yang merupakan bawaan manusia sejak lahirnya dari alam idea (ide). Dengan kata lain, manusia lahir ke dunia dengan membawa kenangan tentang segala sesuatu yang pernah diketahuinya di alam idea. Dengan idea (= kenangan) itu lah, kata Plato, manusia mengenali segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia ini, yang disebutnya sebagai bayangan idea. Lebih lanjut, menurut ajaran Plato, karena apa yang ada di dunia ini hanya bayangan idea, maka keadaannya tidak sesempurna seperti aslinya. Kuda yang kita lihat, misalnya, tidak sesempurna kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea. Bagi Plato, segala yang kita saksikan di dunia ini adalah kenyataan semu. Dalam kajian ilmu filsafat, ajaran Plato itu dikenal sebagai aliran filsafat idealisme, dan ia memang pelopor dalam aliran tersebut.
           
Ajaran Plato mengajak manusia lari ke alam idea alias lamunan. Melalui ajarannya itu, Plato mempengaruhi para penganut filsafatnya untuk menjauhi segala hal yang bersifat duniawi.
           
Pengaruh ajaran Plato diperluas melalui agama Kristen, khususnya melalui orang Mesir bernama Plotinus (205-270 M), tokoh terbesar dalam aliran Neo-Platonisme (ajaran Plato versi baru), yang juga menjadi perintis bagi lahirnya filsafat Kristen yang disebut filsafat  Scholastik. Kemudian, tokoh besar yang dianggap orang suci  (santo atau saint) dalam filsafat Kristen tersebut adalah Santo Agustinus (354-430 M). Dialah yang menulis 22 jilid buku yang menguraikan tentang dua kerajaan, yaitu Kerajaan Tuhan (Civitas Dei) yang ada di atas sana (sorga), dan Kerajaan Iblis (Civitas Diaboli) yang ada di dunia ini. Tapi di dunia ini juga ada wakil Kerajaan Tuhan, yaitu Gereja; tepatnya Gereja Katolik yang kini ada di Vatikan, Italia.
           
Karena pandangan filsafat demikian itu, agama Kristen membagi kehidupan menjadi (1) urusan agama (yaitu Gereja), dan (2) urusan dunia.  Urusan agama kadang disebut sebagai urusan spiritual, dan sebaliknya urusan dunia disebut sebagai urusan sekular (harfiah berarti duniawi).
           
Orang Kristen asli beranggapan bahwa kerajaan mereka bukan terletak di dunia ini, sehingga mereka pun tidak mau terlibat dalam urusan politik (yang tentu merupakan urusan Kerajaan Setan).
           
Ajaran Plato itu belakangan juga mempengaruhi orang-orang Islam, khususnya para ahli ilmu kalam dan kaum sufi. Achmad Roestandi SH menulis demikian:

... faktor-faktor extern itu ialah masuknya filsafat Yunani ke alam Islam. Dengan kata lain, filsafat Islam itu mulai tumbuh subur dan mendalam setelah cendekiawan Islam berkenalan dengan filsafat Yunani. Seperti halnya dengan filusuf-filusuf scholastik, filusuf-filusuf Islam pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran para filusuf Yunani, dan kelanjutannya mereka pun menjalinkan ayat-ayat Qur’an tertentu dengan ajaran-ajaran filusuf Yunani tersebut.

Satu hal yang perlu dicatat, dari kaum sufi, misalnya,  lahir pandangan bahwa dunia adalah penjara bagi orang beriman dan sorga bagi orang kafir. Suatu pandangan yang sangat dipengaruhi oleh konsep Agustinus tentang Kerajaan Tuhan (sorga) dan Kerajaan Iblis (dunia).
           
Pandangan tersebut tentu sangat menguntungkan para penjajah. Ketika para penjajah berduyun-duyun datang ke berbagai negara Muslim, kaum muslimin hanya bersikap pasif dan menyingkir saja; karena para penjajah itu hanya datang untuk mengambil segala sesuatu yang bersifat duniawi, yang memang merupakan hak mereka di dunia ini, bukan hak orang-orang beriman. Memang kaum sufi modern telah membantah keras tentang kebenaran ajaran tasawuf yang demikian; tapi fakta tetaplah fakta. Yakni, ada satu masa yang begitu panjang, tak lama sejak berakhirnya masa Nabi dan para Khalifah, umat Islam amblas ke dalam kehinaan, dan belum bangkit sampai sekarang, karena para cendekiawan (ulama) mereka terpesona oleh filsafat Barat (Yunani), dan meninggalkan Al-Qurãn.
           
Ternyata pula, kedatangan para penjajah ke negara-negara Muslim bukan hanya untuk mengeruk kekayaan alam, tapi juga untuk mengukuhkan pengaruh filsafat Yunani itu, baik melalui Kristenisme yang bermuatan Neo-Platonisme Plotinus-Agustinus, maupun melalui sains (science) yang bermuatan filsafat materialisme atau naturalisme.
           
Karena pengaruh yang belakangan itulah, pengertian (konsep) ilmu digambarkan (didefinisikan) dengan konsep sains yang berpangkal pada materialisme/naturalisme. Satu contoh definisi tentang ilmu yang diambil dari Barat, yaitu: Science is organized body of principles supported by facts. (Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dalam keseluruhan yang didukung oleh faktanya). Definisi ilmu yang demikian itu adalah hasil dari pengaruh filsafat Idealisme dan Naturalisme yang melahirkan “kesadaran terkatung-katung” (tidak mantap), sebagai hasil dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, yang menjadi obyek studi (pengkajian).

Definisi yang lain science, dikatakan dalam sebuah kamus sebagai: knowledge arranged in an orderly manner, esp knowledge obtained by observation and testing of facts. (Pengetahuan yang dirangkai secara teratur, terutama pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan pengujian fakta-fakta).

Definisi tersebut mengandung kelemahan mendasar. Pertama, di sana dikatakan bahwa ilmu adalah hasil usaha manusia setelah mengamati alam. Tapi, manusia tidak mungkin mengenali alam sebelum ada pengetahuan lebih dulu. Dari mana asal pengetahuan itu? Pengetahuan awal (untuk mengenali alam) itu berasal dari Allah. Kedua, bila di sana disebutkan fakta, yakni berbagai benda yang menjadi obyek kajian ilmu, siapa yang mengadakan benda-benda itu? Semua benda yang mereka kaji itu adalah ciptaan Allah, yang juga terikat oleh sunnatullah (hukum alam).

Kemudian, dengan mengajukan surat Ar-Rahmãn ayat 1-13, ditegaskan bahwa ilmu yang sebenarnya, yang berasal dari Allah (untuk masa sekarang) adalah Al-Qurãn. Dengan demikian koreksi definisi tersebut menjadi: Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dari Allah menurut Sunnah Rasul terhadap semesta kenyataan yang tergantung kepada Allah, ALQURAN.