KOMPARASI STUDY SURAT AL MUZZAMMIL
1.
Al-Muzzammil sebuah kisah
Al-Qur’an sebagai kitab bernilai sastra tinggi,
sehingga sangat layak dikaji melalui teori sastra.
Dalam tulisan ini kita menganggap surat Al-Muzzammil
sebagai sebuah kisah, dengan catatan kisah dalam surat ini bukan sebuah kisah
khayalan (fiksi), tapi kisah yang mengungkap kebenaran sejarah masa lampau,
yang mencakup masa Fir’aun dan Nabi Muhammad SAW.
Namun, selain mengungkap kenyataan masa lampau, Al Muzzammil juga ‘menyerempet’ kenyataan sekarang, dan membayangkan sesuatu yang bisa terjadi di masa yang akan datang, yaitu berupa gambaran keadaan yang baik (ideal world) bagi yang mengikuti petunjuk Allah, dan gambaran keadaan yang buruk (worst-case scenario) bagi yang menolaknya. Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa Al-Muzzammil menempati peran sangat penting (central), karena memuat penjelasan ringkas namun padat tentang kaitan antara kegiatan mengkaji Al-Qur’an dan “revolusi sosial budaya” yang bisa timbul sebagai dampaknya. Karena itu, surat ini layak disebut mewakili gagasan ini al-Qur’an itu sendiri, yang memang diturunkan untuk mengangkat manusia dari keterpurukan akibat kesalahan memilih ajaran (konsep) hidup.
3.1.
Tema besar surat Al-Muzzammil
Tema besar surat Al-Muzzammil adalah keharusan
bangun malam untuk mengkaji Al-Qur’an secara bertahap dan berdisiplin sebagai
persiapan untuk memperbaiki kehidupan. Hal ini terungkap melalui ayat 1-4, dan
dipertegas melalui ayat 20.
Sedangkan tema kecilnya berderet mulai ayat 1 sampai 20. Uraiannya sebagai berikut :
3.2.
Al-Muzzammil sebagai sebuah ungkapan
Tema kecil pertama dalam surat ini tentu saja
“Al-Muzzammil” itu sendiri, yang menjadi judul surat, tokoh utama, dan
sekaligus merupakan adatutasybih (alat perumpamaan) bagi siapapun yang ingi
menerobos kepungan -azh-zhulumat (”kebodohan” dengan segala bentuknya), untuk
mendapatkan an-nur, yakni petunjuk Allah (Al-Qur’an). (Hubungkan antara lain
dengan surat Al-Baqarah ayat 257)
Sebagai sebuah perumpamaan, al-muzzammil (orang yang
berselimut) adalah ungkapan yang jitu untuk menyebut siapapun yang terlena
dalam kejahilan (jahilliyah). Mereka ibarat orang-orang yang tidur dalam
bungkusan selimut hangat, yang menambah tidur mereka semakin lelap, sehingga
tidak menyadari apapun yang sedang terjadi dalam dirinya, lebih-lebih lagi
dunia luar. Bila kita buka kamus, an-naim ( ) orang yang tidur, memang sama
dengan al-ghafil ( )–hubungkan antara lain dengan surat Yasin ayat 6–orang yang
lengah, lalai, dungu, bahkan bisa juga berarti mati ( ).
Maka semakin jelaslah bagi kita bahwa Al-Qur’an
diturunkan memang untuk membangkitkan si Muzzammil itu. Bila ada orang yang
bersikukuh mengatakan bahwa surat Al-Muzzammil ini diturunkan khusus hanya
kepada Nabi Muhammad, maka seharusnya mereka juga ingat bahwa Nabi Muhammad pun
-sebelum menerima Al-Qur’an- adalah dalam keadaan sesat atau bingung. (Surat
Adh-Dhuha ayat 7)
4.
Alur
Setiap kisah mempunyai alur atau “jalan cerita”, dan
yang disebut jalan cerita ini adalah hubungan satu peristiwa dengan peristiwa-peristiwa
yang lain dalam keseluruhan cerita, yang berlangsung dalam waktu-waktu
tertentu.
Peristiwa-peristiwa itu berhubungan satu sama lain,
seperti mata rantai, dalam jalinan hubungan sebab-akibat secara langsung maupun
tidak langsung- dalam kaitan-kaitan sistematis maupun logis, sampai cerita
berakhir.
Dalam surat Al-Muzzammil, alurnya bisa kita telusuri
mulai dari tokoh si Muzzammil sendiri. Peristiwa pertama, dia disuruh bangun
malam untuk mengkaji Al-Qur’an. Peristiwa kedua, dia harus mengatur waktu
belajarnya, apakah setengah malam, atau kurang dari setengah, atau lebih dari
setengah (ayat 1-4 dan 20).
Ingat, satu peristiwa punya hubungan sebab-akibat
dengan peristiwa-peristiwa yang lain. Peristiwa bangun malam, misalnya, punya
hubungan sebab-akibat dengan keadaan malam itu sendiri. Sebab bangun malam
untuk mengkaji Al-Qur’an, maka kita bertemu dengan keadaan malam yang mendukung
kegiatan belajar Al-Qur’an. Akibatnya (hasilnya), Al-Qur’an pun menjadi lebih
mudah masuk ke dalam otak. Semakin sering hal itu dilakukan, semakin banyak isi
Al-Qur’an yang diketahui.
6.3
Bumi dan Gunung
Bumi dan gunung-gunung dalam ayat 14 juga bukan bumi
dan gunung-gunung dalam arti harfiah. Karena bila berarti harfiah dan dianggap
sebagai gambaran situasi dan kondisi ketika “dunia kiamat”, maka hal itu baru
akan terjadi entah kapan. Hal itu, misalnya, tidak bisa dikaitkan dengan
orang-orang yang hidup di zaman Musa dan juga Muhammad, bahkan juga dengan kita
sekarang. Dalam pemikiran (ilmiah?) kita semua, kehancuran dunia adalah sesuatu
yang mungkin baru terjadi entah beberapa ratus atau ribu tahun kemudian! Jadi,
bila kabar tentang kehancuran alam itu dijadikan alat untuk ‘menakut-nakuti’,
maka hal itu sama sekali tidak membuat kita takut.
……………………………..
Surat Muzzammil ayat 2-4 adalah waktu dan penggunaannya dalam garis
rattil. Ayat 6 adalah alasan dan penjelasannya, mengapa harus memakai waktu
malam.
Ayat
5 dan 6
menggambarkan tujuan yang mau dicapai oleh rattil yaitu persiapan shalat untuk
mencapai B3.
Jikalau sudut D-B2 adalah sudut
positif rattil maka ayat 7 “sabhan
thawila”. ialah sudut D-C yaitu garis siang yang bersudut negatif.
Yaitu ayat 9 “rabbul masriqi wa rabbul maghribi...” dalam pasangan
positif dengan ‘laaha illa huwa fattakhidzhu wakiila”.
Ayat
10 dan 11 adalah
tuntutan ketabahan bagi yang rattil dalam pertautannya dengan D-C (garis siang)
mengenai ocehan-ocehan mereka yang positif dengan dzulumat ms syayathin dan
bersikap negatif terhadap dakwah al-Qur’an ms Rasul.
Sambil menyerahkan urusannya itu
sepenuhnya menjadi urusan Allah, pencipta dan pembimbing Nur dan dzulumat, buat
sementara.
Ayat
12-14 adalah
pandangan dan penilaian al-Qur’an ms Rasul terhadap nasib dzulumat ms syayathin
selanjutnya sebagai tantangan bagi sunnah Muhammad qurun I, yang akan berulang
menjadi tantangan bagi sunnah Muhammad qurun Kedua kelak.
Ayat
15 dan 16 adalah
percontohan sunnah Muhammad dan tantangannya, sebagai perulangan dari Taurat ms
Musa yang ditantang oleh Fir’aun dan atas kekufurannya terhadap ajaran Allah ms
Rasul akhirnya Fir’aun menjadi hancur musnah.
Ayat
17 memperingatkan
yang rattil bahwa mencapai muttaqin yaitu mukmin itu adalah proses
penjungkiran-balikan yang bersifat historis yaitu ayat 18, seperti
penjungkir-balikan semesta angkasa kehidupan ini kelak, pada sa’ah kubra, dalam
rangka pembangunan “yaumil akhir”.
Akhirnya ayat 19 mencamkan para pelaku rattil bahwa al-Quran ms Rasul ini
adalah pembina kehidupan sadar secara ilmiah. Maka, siapa yang mau,
dipersilahkan menata kehidupan menurut ajaran pembimbingnya.
Adapun Surat Muzzammil ayat 20 adalah untuk meningkatkan hasil
rattil dengan melakukan shalat untuk mencapai iman demikian :
Inna
rabbaka ya’lamu annaka taquumu adnaa min tsulutsayil laili wa nishfahuu wa
tsulutsahuu wa thaa-ifatum minal ladziina ma’aka wallahu yuqaddirul laila wan
nahaara ‘alima al lan tuhshuuhu fataaba ‘alaikum faq ra-uu maa tayassara minal
qur-aani ‘alima an sa yakuunu minkum mardhaa wa aakharuuna yadhribuuna fil
ardhi yabtaghuuna min fadhlillaahi wa aakharuuna yuqaatiluuna fii sabiilillaahi
faq ra-uu ma tayassara minghu wa aqiimush shalaata wa aatuz zakaata wa
aqridhullaha qardhan hasanaw wa maa tuqaddimuu li anfusikum min khairin
tajiduuhu ‘indallaahi huwa khairaw wa a’zhama ajraw was taghfirullaaha
innallaaha ghafuurur rahiim.
“Sebenarnya pembimbing kalianlah yang
meng-ilmui-nya(al-quran msR-Nya) sehingga kalian menjadi tegak berdiri
(dimalam hari melakukan shalat) hampir dua pertiga malam atau setengahnya atau
sepertiganya malam atau setengahnya atau sepertiganya dan segolongan orang
yang mengikuti kalian yaitu Allah, dengan al-Quran msR-Nya memberikan
pasangan rancangan hidup, Nur Rasul dan dzulumat msS, bagaikan siang dan
malam dalam satu peredaran. Dia telah mengilmui al-Quran msR-Nya, dengan
harapan sangat agar kalian tidak menyeleweng dan atau melacurkannya.
Akhirnya Dia, dengan Rattil satu persiapan iman dan shalat satu pembinaan iman,
mengharap satu perubahan revolusioner atas hidup kalian. Maka
pelajarilah dalam arti membentuk menjadi pandangan seberapa yang kalian sudah
menguasai dari al-Quran msR ini. Dia mengilmui al-Quran msR-Nya dengan harapan,
melalui rattil satu persiapan iman dan shalat satu pembinaan iman, dapat membikin
sebagian kalian menjadi orang yang maunya padu dengan maunya Allah dengan
al-Quran ms Rasul-Nya. Dan sebagian lagi menjadi yang bergerak dibidang penataan hidup
(DIVISI PENATAAN/FULAHTA/ABU BAKAR) dipermukaan bumi ini guna
mencapai menurut nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Allah ms Rasul-Nya. Dan yang terakhir menjadi yang bergerak dibidang pertahanan-keamanan
(DIVISI HANKAM/SECURITY/UMAR) untuk mempertahankan tatanan
kehidupan dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya. Akhirnya
studilah dalam arti membentuk menjadi pandangan seberapa saja yang kalian sudah
menguasainya. Dalam arti lakukanlah shalat satu pembinaan diri menjadi mukmin,
selanjutnya lakukanlah zakat satu pembinaan
perekonomian (DIVISI EKONOMI/IQTISHADIYAH/USMAN). Akhir sekali, lempangkanlah
hidup kalian dengan ajaran Allah ms Rasul ini setahap demi setahap hingga
mencapai kehidupan ihsan (DIVISI PENDIDIKAN/ALI). Dan tidak adalah yang
menjadi tujuan pribadi kalian kecuali satu model kehidupan indah yang kalian
akan menemuinya menurut ajaran Allah. Dia, dengan al-Quran ms Rasul ini, adalah
pembina kehidupan maha indah lagi pemberi imbalan kehidupan tiada tara. Dan akhir kalam, tuntutlah satu
perubahan hidup revolusioner menurut ajaran Allah. Sesungguhnya Allah, dengan
al-Quran ms Rasul-Nya, adalah pembina kehidupan maha revolusioner lagi pemberi
kepastian hidup tiada tanding”.
QS
2:260. Wa-idz qaala ibraahiimu rabbi arinii kayfa tuhyii lmawtaa qaala awa lam
tu’min qaala balaa walaakin liyathma-inna qalbii qaala fakhudz arba'atan mina
ththhayri fashurhunna ilayka tsumma ij'al 'alaa kulli jabalin minhunna juz-an
tsumma ud'uhunna ya’tiinaka sa'yan wa'lam annallaaha 'aziizun hakim.
Yaitu
satu ketika dikalamana Ibrahim berkata : “Wahai Pembimbingku! Perlihatkanlah
daku, semoga menjadi pandangan dan sikap hidupku, bagaimana gerakan menghidupkan budaya yang bagaikan tubuh
yang sudah mati“. DIA (Allah)
bertanya: “Apakah anda belum mau hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran
Allah msR?! Dia menjawab bukan begitu! Tetapi sebenar nya saya lagi menghunjamkan nya agar menjadi isi hatiku“. DIA menitahkan:
“Lakukan lah ibarat mengambil empat (4)
ekor burung lalu anda latih menurut
maunya anda kemudian bikinlah menjadi masing-masing diatas setiap bukit,
kemudian serukanlah niscaya seketika berhimpun mengiringi anda. Begitu dengan
Sami’na ialah RATTIL dan persiapan IMAN dan Shalat satu pembinaan berpandangan
dan bersikap hidup dengan satu ajaran MSR Anda“. Yaitu camkanlah! Bahwa Allah
dengan pembuktian AQ_MSR Nya, adalah pembina hidup perkasa lagi pemberi
kepastian hukum tiada tanding”.
4
(empat) Divisi yang menghidupkan budaya yang sudah mati:
- Menjadi yang bergerak dibidang penataan hidup (DIVISI PENATAAN/ABU BAKAR)
- Menjadi yang bergerak dibidang pertahanan-keamanan (DIVISI HANKAM/UMAR)
- Membinaan perekonomian (DIVISI EKONOMI/IQTISHADIYAH/USMAN)
- Lempangkanlah hidup kalian dengan ajaran Allah ms Rasul ini setahap demi setahap hingga mencapai kehidupan ihsan (DIVISI PENDIDIKAN/ALI)
Pasti Alam ungkapan budaya, tubuh
tergantung jantung, jantung mati maka tubuh mati, jantung terdiri dari 4 bilik.
………………………………….
BANGUN
MALAM UNTUK KAJI AL-QUR'AN
Banyak cara ummat Islam melakukan pengajian dan atau
Pengkajian Al-Qur'an, yang menurut pandangan mereka adalah untuk mencari
fahala.
Pada umumnya bagi anak-anak yang baru belajar
membaca (untuk Indonesia) maka Al-Quran dibaca dari surat-surat pendek,
sedangkan bagi yang sudah dewasa mereka mengadakan pengajian dengan membaca
Al-Qur'an dari depan, yaitu dimulai dengan membaca Al-Fatihah kemudian surat
Al-Baqarah, surat Ala-Imran dan sebagainya.
Untuk Pengkajian Al-Qur'an, kita ambil sebuah buku
yang ditulis oleh Prof. M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang berjudul : Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur'an/Tafsir terbitan : Penerbit Bulan Bintang 1954, pada
halaman 102 sampai 107, ada 17 Ilmu yang wajib dipelajari sebelum seseorang
menjadi ahli tafsir.
Bila satu cabang Ilmu bisa diselesaikan kurang-lebih
3 tahun, maka diperlukan waktu 17 kali 3 sama dengan 51 tahun barulah seseorang
dianggap mampu untuk menjadi ahli Tafsir Al-Qur'an.
Pendapat ini berbeda dengan kenyataan di zaman
Rasulullah Muhammad SAW, dimana yang diperlukan untuk study al-Qur'an itu
adalah kemauan yang kuat dan disiplin yang tinggi agar Al-Qur'an yang sekarang
ini sudah berada di langit dunia bisa diturunkan kedalam hati sanubari setiap
Mualim/Mukmin.
Begitulah ketika Nabi Muhammad SAW, sedang menanti
wahyu Allah, setelah tiga tahun belum turun dan hanya baru 5 ayat surat
Al-'Alaq, maka Allah menurunkan Surat Al-Qalam dan Surat Al-Muzzammil untuk
memberi petunjuk bagaimana memulai satu Pengkajian Al-Qur'an guna mengeluarkan
diri dan Ummat dari kegelapan (Dzulumat) menuju kehidupan Nur menurut Sunah
Rasul yang bernilai Ilmiyah.
Allah berfirman dalam surat Al-Muzzammil :
Yaa ayyuhal Muzzammil
Wahai orang yang berselimut (Tanggapan Dzulumat
menueurut Sunnah Syayatin)
Qumil-laila il-laa qaliilaa
Bangunlah di waktu malam hari kecuali sedikit saja
tidurnya
Nishfahuu awin qush minhu qaliilaa
Setengah malam atau kurang sedikit dari setengah
malam
Tapi sekarang ini pembagian waktu demikian rusak
sehingga jam 00 lewat 1 menit tengah malam, kata mereka itu sudah masuk pagi
hari. Jadi malam menurut umum berbeda dengan malam menurut Allah, malam menurut
Allah dimulai dengan waktu 'Isya sampai dengan menjelang fajar tiba. Pada saat
malam itulah Muslim/Mukmin diperintahkan oleh Allah untuk bangun dan
meninggalkan tempat tidur, padahal waktu itu adalah waktu yang paling enak
untuk istirahat.
Au zid 'alaihi warattilil quraana tartiilaa
Atau lebihkan dari setengah malam dan lakukan study
Al-Qur'an dengan sebenar-benarnya study.
Saudara,
empat ayat ini telah menjadi pertentangan besar antara sesama ummat Islam, yang
sebagian mengatakan, bagaimana kita bangun malam sedangkan besok harus kerja?
Mencari makan juga kan perintah Allah? Itu ayat hanya
untuk Nabi Muhammad dan atau untuk para Ulama saja dan bukan untuk kita-kita
umat yang dibawah.
Saudara, waktu di dunia ini terlalu pendek untuk
berdebat soal perintah Allah ini, Ingatlah cerita tentang pengalaman Bani
Israil, ketika diperintahkan untuk menyembelih seekor Sapi, mereka bertanya,
Sapinya warna apa? ketika dijelaskan warna kuning tua, mereka terus bertanya
umurnya berapa, giginya bagaimana, laki-atau wanita, sehingga hampir-hampir
mereka lalai mengerjakan perintah Allah itu.
Inna sanulqii alaika qaulan tsaqiilaa
Sesungguhnya melalui rattil atau study di waktu
malam itu Kami akan menancapkan kepadamu satu qalam berbobot Ilmiyah
Inna naa syiatan laili hiya asyaddu wath-an
wa-aqwaamu qiilaa
Sesungguhnya situasi malam adalah semudah-mudahnya
pemantapan dan setangguh-tangguh penanggapan
Inilah alasan Allah memilih waktu malam, yang
menurut kebiasaan di waktu malam itu waktu bergentayangannya syetan atau para
tukang santet beraksi, maka dikala itu pula seorang Muslim/Mukmin diperintahkan
bangun untuk membina dirinya dengan Al-Qur'an sehingga Al-Qur'an akan menjadi
tembok pengaman bagi syetan-syetan dari bangsa Jin maupun manusia yang mau
beraksi mempengaruhi pandangan hidupnya.
Inna laka fin-nahaari sabhan thawiilaa
Sebenarnya di waktu siang itu adalah kesibukan
berbuat (mencari sesuap nasi) yang tidak habis-habisnya.
Waktu siang hari yaitu setelah subuh dimulai dengan
waktu Dhuha sampai waktu 'ashar adalah waktu untuk mencari rezeki Allah yang
sudah disiapkan dimuka bumi, maka kurang tepat jika pengkajian Al-Qur'an itu
dilakukan diwaktu siang, akan mengganggu pekerjaan kita, dan waktu siang tidak
mendukung untuk suatu study karena memang tidak diciptakan Allah untuk itu.
Wazkurisma Rabbika watabattal ilaihii tabtiilaa
Maka dengan hasil study Al-Qur'an menurut Sunnah
Rasul ini, sadarkan diri untuk hidup dengan Petunjuk Allah, dan putuskan
hubungan dengan semua pengaruh Dzulumat menurut Sunnah Syayatin dengan
seputus-putusnya.
Inilah petunjuk Allah, jika kita ingin menjadi abdi
Allah menjadi seorang Mukmin, maka putuskan semua pikiran kita dengan kehidupan
yang tergantung kepada pengaruh lingkungan dunia kita yang tidak berstandard
Perintah dan larangan Allah.
Sulit memang, terkadang pada waktu membaca blog ini,
timbul niatan untuk bersungguh-sungguh memahami Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul,
tapi ketika kita bebas di alam lepas, syetanpun berbisik, sudahlah, ini dunia
diciptakan untuk kalian nikmati, nanti saja kalau sudah tua barulah kamu serius
belajar agama. Ketika kamu mengiyakan kalimat godaan itu maka tertawalah
syetan, dia terus menggusur Iman anak Adam itu untuk mencari jalan membawa
manusia kepada jalur kehidupan Jahannam yaitu laknat Allah, laknat seluruh
Malaikat dan laknat semua orang beriman. Dia terus berbisik, ikuti petunjuk
Dukun jinun, karena mereka juga bangun melek sepanjang malam, malam adalah
waktu untuk mencari hiburan, lihatlah disana orang-orang semua mencari hiburan
diwaktu malam, kau mau duduk melakukan pengkajian Al-Qur'an? Kuno, jika saudara
mengiyakan, maka tertawalah terbahak-bahak Syetan sambil berkata kepada
kawannya : Bodoh amat ini Anak/cucu Adam, mau dia dengar nasehat dari musuhnya.
Washbir 'alaa maa yaquuluuna wahjurhum hajran
jamiilaa
Dan teguh bertahanlah kalian terhadap ocehan para
pendukung Sunah Syayatin yang melontarkan berbagai ocehan, dan belakangi mereka
dengan cara yang seindah-indahnya.
Inilah kata kunci untuk menghindari ajakan mereka,
pendukung Sunnah Syayatin, yang tidak henti-hentinya menghendaki agar kita
kembali kepada pandangan hidup mereka yang bagaikan monyet tidak pernah mampu
menaklukkan hutan belantara.
Wazarnii wal mukazzibiina ulin-na'mati wamahhilhum
qaliilaa
Dan biarkanlah mereka itu menjadi urusn-Ku, yaitu
pelacur-pelacur Ilmu yang sedang asyik dengan permainan Dzulumat menurut Sunnah
Syayatin, yaitu berlapang dadalah kalian terhadap yang demikian untuk waktu
yang tidak berapa lama lagi.
Inilah disiplin Study, jangan usil, jangan ikut
campur, biarkan menjadi urusan Allah yang memberikan hukuman kepada mereka.
Demikianlah disiplin Study yang diajarkan oleh
Allah, kepada Nabi Muhammad dan para Pengikutnya, jika saudara adalah seorang
Muslim/Mukmin yang setiap hari membaca kalimat syahaadah dalam sholat, maka teladan
ini harus diikuti, dan bukan aktif ingin menghancurkan peradaban menurut Sunnah
Syayatin ini, karena bagaimanapun Syaitan telah di-izinkan oleh Allah untuk
membobol Iman anak Adam di dunia ini, untuk menguji apakah mereka sanggup
bersabar atau tidak.
………………………………………………..
QS.
MUZZAMMIL : KIAT INTERNALISASI NILAI AL-QUR'AN
Pendahuluan
A.
Definisi
Ada dua istilah yang lebih dulu
perlu kita sepakati definisinya. Pertama adalah nilai dan kedua internalisasi.
Sedangkan al-qurãn, tanpa disebutkan – it goes without saying – penulis
beranggapan kita sudah tahu definisinya.
Nilai menurut Dr. Mudji Sutrisno,
SJ, adalah “sesuatu yang dihayati, diterima, dan diacu sebagai yang berharga,
yang baik, yang benar dan indah untuk kehidupan”. Bila definisi itu kita
setujui dan kita kaitkan dengan Al-Qurãn, maka nilai Al-Qurãn adalah “Segala
sesuatu yang terdapat dalam Al-Qurãn, yang dihayati, diterima, dan diacu
sebagai yang berharga, yang baik, yang benar dan indah untuk kehidupan.”
Sedangkan internalisasi, masih
menurut Dr. Mudji Sutrisno dalam bukunya, Pendidikan Pemerdekaan, adalah
“sebuah tahap di mana orang memproses pembatinan nilai dari sesuatu yang di
luar dirinya (eksternal) menjadi bagian dari dirinya atau batinnya (internal).
Sesuatu yang sebelumnya berada di luar, merupakan pengetahuan, dalam
internalisasi diproses untuk menjadi bagian wawasannya, acuan dirinya. Sesuatu
yang sebelumnya merupakan pengetahuan dari luar yang disampaikan sebagai
pengetahuan kognitif, kini diproses dalam pembatinan untuk menjadi sesuatu yang
afektif menyatu dengan dirinya. Di tahap internalisasi inilah terletak batu uji
apakah seseorang ‘hanya ditempeli atau menempelkan nilai’ sebagai kulit luar
untuk pribadinya ataukah ia mampu membatinkannya menjadi miliknya.”
Ringkasnya, internalisasi adalah
memindahkan nilai dari luar ke dalam diri (to convey value from outside into
inside a person’s mind), atau mengubah sesuatu yang semula gharïb (غريب), asing, menjadi qarïb (قريب),
akrab (ليقرّب ما
كان الغريب).
Dr. Mudji Sutrisno yang agaknya
sangat tertarik pada metode pendidikan Paulo Freire dari Brasil, menyebutkan
bahwa proses internalisasi nilai bagi seorang anak dilakukan antara lain dengan
cara mengungkapkan pengetahuannya melalui warna dan gambar, dan dengan
kegiatannya seperti menempel kliping kertas koran, guntingan gambar, atau
melingkari dan memberi tanda palang pada kalimat yang benar, atau merangkai
gambar-gambar menjadi sebuah cerita. Dengan cara itulah seorang anak
‘membatinkan’ (meresapkan ke dalam dirinya) segala sesuatu yang semula
dipelajarinya secara teoritis.
Lalu bagaimana cara kita, yang
mengaku mu’min, melakukan internalisasi nilai Al-Qurãn? Semula penulis, mungkin
seperti halnya kebanyakan orang, mengira bahwa usaha internalisasi tersebut
bisa dan boleh dilakukan dengan berbagai cara. Tapi belakangan, setelah cukup
lama mempelajari Al-Qurãn dan membandingkannya dengan kenyataan umat Islam,
ketahuanlah bahwa asumsi tersebut mengandung kesalahan mendasar, yaitu –
katakanlah – kesalahan metodis. Yaitu kesalahan memposisikan Al-Qurãn; yang
seharusnya menjadi imam (subyek) kita posisikan menjadi ma’mum (obyek).
Alhasil, internalisasi Al-Qurãn
dilakukan secara “semau gue”, dengan teknik parsial dan acak-acakan, sehingga
isi Al-Qurãn secara utuh tidak mampir ke dalam ruang kesadaran kognitif umat,
sehingga otomatis menjadi jauh dari ruang kesadaran afektif mereka.
B.
Prosedur dan proses internalisasi
Kita sering mengutip surat Al-Ahzab
ayat 21 yang menegaskan posisi Rasulullah sebagai uswah hasanah, teladan
terbaik, atau the best model. Teladan terbaik dengan kata lain adalah
satu-satunya teladan (the only model), alias tidak ada teladan lain kecuali
Rasulullah, dalam segala aspek kehidupan (tentu dengan beberapa pengecualian).
Tapi, pernahkah terpikir oleh kita bahwa keteladanan Rasulullah itu juga
mencakup satu segi terpenting dari pembentukan akhlak (kepribadian) Rasulullah
sendiri, yaitu dalam ‘internalisasi’ nilai-nilai Al-Qurãn? Pernahkah terlintas
dalam pikiran kita bahwa cara Rasulullah menerima dan membatinkan wahyu adalah
suatu atau satu-satunya sunnah (= jalan; prosedur) untuk mempelajari Al-Qurãn
bagi para pengikutnya?
Tapi, bagaimana pula kita bisa
merumuskan bahwa cara Rasulullah membatinkan wahyu adalah – selanjutnya –
merupakan prosedur bagi kita dalam melakukan usaha yang sama? Jawaban untuk
pertanyaan itu penulis dapati pada surat Al-Muzzammil.
Selama ini kita selalu mendapat
keterangan bahwa al-muzzammil (seperti juga al-muddattsir) adalah sebutan
(julukan) bagi Nabi Muhammad, yang ketika wahyu pertama datang ia dalam keadaan
berselimut (harfiah). Jelasnya, sebutan itu hanya bernilai historis sempit,
yaitu hanya berkaitan dengan satu penggalan waktu (hïnun minaddahri; momentum)
tertentu. Begitu lepas dari momentum itu, maka lepas pula julukan itu. Selain
itu, julukan tersebut juga hanya bersifat pribadi (personal), yaitu hanya
berlaku dan berkaitan semata-mata dengan diri Nabi Muhammad. Dengan kata lain,
bila kita menyebut Rasulullah sebagai uswah hasanah, keadaan sebagai
al-muzzammil (al-muddatstsir) tidak termasuk ke dalam konteks itu.
Tapi itu adalah keterangan di luar
teks surat Al-Muzzammil, sesuatu yang – katakanlah – masuk ke dalam klasifikasi
asbabun-nuzul. Sebuah gambaran di luar teks tentang latar belakang historis
teks; yang boleh dipercaya (bila akurat) dan boleh juga tidak (bila bersifat
mengada-ada).
Dalam kajian ini penulis justru
hendak menegaskan bahwa ‘julukan’ sebagai Al-Muzzammil bagi Nabi Muhammad tidak
hanya bersifat historis-personal tapi juga filosofis (philosophical), sehingga
bisa berlaku bagi siapa saja dan kapan saja, sepanjang terliput (covered;
included) dalam penggolongan (kategorisasi) yang tersirat dari isi surat itu
sendiri.
Dalam konteks (yang tersirat dari
teks) surat itu, julukan Al-Muzzammil terasa lintas personal dan lintas waktu.
Bila dilihat dari perspektif asbabun-nuzul, perintah untuk bangun (qum),
misalnya, tentu hanya berlaku untuk satu kali pekerjaan, yaitu bangkit dari
posisi berbaring menjadi duduk atau berdiri. Tapi dalam konteks suratnya
sendiri, perintah itu sama sekali tidak terkesan sebagai sesuatu yang hanya
bisa direaksi dengan sekali tindakan. Sebaliknya, perintah itu justru
mengisyaratkan sebuah rumus atau kiat untuk lepas dari kondisi ‘berselimut’,
atau untuk melepaskan ‘selimut’ selama-lamanya; yang selanjutnya mengajak kita
bertanya tentang makna sebenarnya (filosofis) dari ‘selimut’ itu. Kesan itu
tergores jelas melalui rangkaian ayat 1-4.
Ayat-ayat berikutnya, 5-8,
menegaskan alasan logis dari perintah alokasi waktu (dalam jumlah yang banyak)
di malam hari, yaitu karena waktu malam adalah asyaddu wath’an wa aqwamu qïlan
(اشدّ وطئا
وأقوم قيلا),
amat sangat cocok untuk meresapkan ‘perkataan’ (ajaran; konsep). Sebaliknya,
siang hari adalah waktu yang padat dengan segala kesibukan berantai, sabhan
thawïlan (سبحا طويلا).
Ayat ke-8 malah menegaskan bahwa bangun malam adalah kiat untuk melakukan
penarikan diri dari pengaruh lingkungan, supaya bisa mengikatkan diri pada
‘perkataan’ (wahyu; Al-Qurãn) yang hendak dibatinkan (internalized). Kiat yang
diajarkan Allah itu sekaligus juga merupakan koreksi atas penarikan diri dengan
cara menyepi di goa (Hira) seperti yang pernah dilakukan Muhammad sebelum
menjadi rasul.
Ayat 20 merangkaikan perintah bangun
malam untuk mengkaji Al-Qurãn dengan perintah untuk melakukan shalat sebagai
suatu kiat untuk membuat Al-Qurãn ‘tumbuh’ (menjadi kepribadian/akhlak). Cara
itu – mengkaji mulai dari yang mudah, lalu membawa hasil kajian ke dalam shalat
– ditegaskan Allah sebagai qardhun hasan.
Apa itu qardhun hasan? Bentuk kata
kerjanya, qaradha, bisa berarti mengerat, menggigit, atau mengkredit (mencicil).
Dalam konteks surat, qardhun hasan adalah “tindakan berkelanjutan (proses)
mengkaji Al-Qurãn dengan memilih yang relatif mudah, lalu menghafalnya, supaya
bisa dibawa ke dalam shalat”. Dengan demikian, qardhun hasan bisa diterjemahkan
sebagai (teknik) ‘penggigitan’ Al-Qurãn yang sangat baik, karena dilakukan
sedikit demi sedikit, sehinga mudah diendapkan dan dicernakan, alias mudah
dibatinkan (diinternalisasi).
Analisis
surat
A.
Terjemahan
Menerjemahkan Al-Qurãn adalah
pekerjaan sangat sulit, dan hasilnya – tidak bisa tidak – adalah sesuatu yang
zhanni (spekulatif). Karena itu,
kebanyakan orang mengambil cara aman dengan mengambil terjemahan versi
Departemen Agama, yang merupakan hasil kerja banyak orang. Bila dalam
kajian ini penulis tidak menggunakan terjemahan Dep-Ag, tujuannya tentu bukan
untuk bersikap arogan, tapi cuma ingin menegaskan bahwa terjemahan Dep-Ag tidak
boleh dijadikan standar. Secara logika,
bila terjemahan Dep-Ag dijadikan standar, tamatlah tugas kita untuk mengkaji
Al-Qurãn. Dengan kata lain, bila kewajiban mengkaji Al-Qurãn yang semula
hukumnya (menurut teori fiqh) adalah fardhu ‘ain (kewajiban setiap orang yang
tidak boleh didelegasikan) berubah menjadi fardhu kifayah (kewajiban yang boleh
didelegasikan).
Berikut ini adalah terjemahan versi
penulis:
1. Hai Muzzammil!
2. Banyaklah bangun malam (jangan
terlalu banyak menggunakannya untuk tidur).
3. Bangunlah setengah malam atau
kurang dari setengahnya;
4. Atau lebihkan dari setengahnya.
Lalu kajilah Quran setertib-tertibnya.
5. Pasti (bila dilakukan pengkajian
demikian), kami akan resapkan suatu konsep/ pedoman hidup yang maha berbobot.
(hubungkan dengan QS 2:97)
6. Suasana malam itu benar-benar
cocok, dalam arti lebih mendukung pemahaman ujaran (ilmu/konsep);
7. Sedangkan pada siang hari kamu
mempunyai banyak kesibukan.
8. Maka (pada malam hari)
tancapkanlah ajaran Rabbmu ke dalam kesadaran, sampai kamu berpegang kepadanya
sekuat-kuatnya.
9. (Dialah Allah) penguasa Masyriq
dan Maghrib; hanya dia yang layak dijadikan illah. Maka jadikanlah ajarannya
sebagai satu-satunya andalan.
10. Selanjutnya, teguh bertahanlah
menghadapi “propaganda” mereka (para penentang Quran), serta jauhi mereka
dengan cara sebaik-baiknya.
11. Selebihnya (yang di luar
kemampuanmu), yaitu para Mukadzdzibin (penipu masyarakat dengan gado-gado haq dan
bathil) yang menguasai fasilitas kehidupan, serahkan saja kepadaku (biarkan
sunnahku berjalan sebagaimana mestinya). Biarkan mereka merasakan kesenangan
semu sesaat.
12. Sebenarnya kami (Allah) pastikan
bagi mereka belenggu dan penjara kehidupan (jahïman) — karena pilihan demikian;
13. Serta “hidangan” (buah usaha)
yang menyesakkan, yang menyebabkan penderitaan luar biasa — yang pasti akan
mereka rasakan.
14. Suatu masa (ada giliran) bumi
(pendukung sistem kehidupan) dan gunung-gunung (penegak sistem) berguncang
(bergejolak), sehingga pada waktu itu gunung-gunung pun longsor seperti
seonggok pasir.
15. Jelas sekali bahwa kami mengutus
kepada kalian seorang rasul (Muhammad) sebagai syahïd (uswatun hasanah) bagi
kalian; sebagaimana dulu kami utus seorang rasul (Musa) kepada Fir’aun (dan
warga Mesir).
16. Maka Fir’aun menentang Sang
Rasul, sehingga (karena itu) kami timpakan kepadanya siksa maha keras.
17. Bagaimana cara kalian
menyelamatkan diri, bila kalian menolak (untuk mempelajari) suatu masa (pergiliran
sejarah), yang akan meng-ubah para bayi (konsep, ideologi) menjadi manusia
tua-renta (tak berdaya, kadaluarsa)?
18. (perubahan itu menyebabkan)
as-samã’ (tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini
merupakan rumusannya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.
19. Ini adalah peringatan yang
sangat gamblang. Siapa pun yang suka (mematuhinya), maka berjuanglah dia
menempuh jalan hidup yang diajarkan tuhannya.
20. Tuhanmu mengajarkan agar kamu
(Muhammad) mengatur waktu bangun malam yang lebih cocok di antara dua pertiga,
setengah, dan sepertiga malam; dan (begitu juga) segolongan orang yang (mau
melakukan hal yang sama) mengikuti dirimu (dipersilakan memilih waktu yang
cocok). Allah selalu memelihara kepastian pergiliran malam dan siang. Dia tahu
bahwa (pengaturan waktu belajar malam itu) tak akan pernah terlintas
perhitungan-(pemikiran)-mu, sehingga ia memberikan rujukan (tãba) kepada
kalian. Maka selanjutnya (setelah ada rujukan, yakni cara pembagian waktu itu),
kajilah Quran mulai dari mana saja yang Dia (Allah) mudahkan bagi kalian (dalam
memahaminya). Ia (Allah) mengetahui bahwa di antara kalian akan ada yang sakit
(namun mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Quran),
sementara yang lain sibuk bertebaran di seluruh permukaan bumi mencari rizqi
yang diridhai Allah (namun mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk
mengkaji Quran), dan yang lainnya harus bertugas dalam peperangan demi tegaknya
ajaran Allah (tapi mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji
Quran). (Justru karena itulah) maka kajilah Quran dengan memilih yang terasa
mudah bagi kalian, lalu lakukanlah Shalat (sebagai sarana pemantapan hafalan
dan peresapan ke dalam kesadaran), dan selanjutnya wujudkan Zakat (sebagai
gerakan pembabatan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah), atau
(dengan kata lain) angsurlah (pengkajian dan pelaksanaan) konsep Allah itu
dengan cara mengangsur yang sebaik-baiknya. Karena kebaikan apa pun yang kalian
lakukan, yang kalian jalankan demi memenuhi kehendak Allah, dia akan menjadi
suatu kebaikan yang mendatangkan keuntungan lebih besar. Maka (melalui
pengkajian Quran dan shalat ini) bangunlah kerinduan untuk melakukan perbaikan
hidup dengan ajaran Allah; karena Allah (dengan ajarannya) adalah maha pemberlaku
perbaikan serta maha pewujud kehidupan kasih-sayang.
B.
Tafsir
Sebagai sebuah wacana, surat ini
dapat kita pecah menjadi tiga bagian, yaitu pendahuluan (ayat 1-4), uraian
(ayat 5-19), dan kesimpulan (ayat 20). Pendahuluan surat ini mencakup gagasan
inti berupa perintah untuk melakukan pengkajian (studi) Al-Qurãn pada malam
hari. Gagasan disampaikan sang pemilik gagasan (Allah) kepada lawan bicaranya
yang disebutnya sebagai Al-Muzzammil. Secara pragmatis, karena penerima wahyu
pertama adalah Nabi Muhammad, sebutan Al-Muzzammil itu tentu hanya berlaku bagi
Nabi Muhammad, tak peduli apakah ketika itu secara fisik ia mengenakan selimut
atau tidak. Bila sedang berlaku musim dingin, selimut pasti dikenakan. Bila
sedang musim panas, selimut tidak dibutuhkan.
Tapi, bila gagasan intinya adalah
perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qurãn, apakah perintah itu hanya
berlaku bagi Nabi Muhammad saja? Tidak. Tadi sudah dikatakan bahwa kaitannya
dengan Nabi Muhammad hanya bersifat pragmatis. Selanjutnya, perintah itu
berlaku bagi siapa saja yang hendak mengkaji Al-Qurãn dengan mengikuti cara
yang diajarkan Allah.
Lantas, apakah perintah bangun malam
itu berlaku harfiah atau kiasan? Berdasar kenyataan bahwa dalam rangkaian ayat
1-4 ini ada pembagian waktu malam menjadi setengah, kurangi dari setengah, atau
tambahkan pada yang setengah, maka perintah itu berlaku harfiah. Bila tidak,
“malam” apa yang bisa dibagi-bagi seperti itu?
Tapi bila demikian, perintah bangun
malam itu tentu memberatkan, sulit dilaksanakan oleh sembarang orang.
Bagaimana, misalnya orang yang harus bekerja di malam hari, apakah ia lolos
dari perintah itu? Jawabannya sangat berkaitan dengan persoalan apakah perintah
itu berlaku untuk setiap malam atau tidak. Surat Al-Isra ayat 78-79 memberikan jawaban
demikian:
أقم الصلوة لدلوك
الشمس إلى
غسق الليل
وقرءان الفجر
إنّ قرءان
الفجر كان
مشهودا - ومن
اللّيل فتهجّد
به نافلة
لك عسى
أن يبعثك
ربك مقاما
محمودا
Laksanakanlah shalat sejak
memudarnya matahari sampai gelap malam, selanjutnya (pada waktu subuh, lakukanlah)
qur’ãnal-fajri (yakni shalat subuh), karena qur’ãnal-fajri itulah yang
terpampang dalam ingatan. Selanjutnya (selain shalat 5 waktu) bertahajudlah
pada sebagian malam, sebagai suatu pembinaan iman bagimu. Mudah-mudahan –
dengan bertahajud itu – tuhanmu akan memantapkan dirimu pada posisi yang
terpuji (mulia).
Kedua ayat di atas itu, pada satu
sisi, berkaitan dengan pengaturan waktu shalat harian (5 waktu), yang
pembagiannya dipertegas oleh Hadis. Pada sisi lain merupakan penegasan bahwa
shalat pada hakikatnya adalah qur’ãnan. Dalam pengertian harfiah, qur’ãnan
berarti bacaan atau proses membaca (= pembacaan). Namun sebagai istilah,
qur’ãnan tentu berkaitan dengan Al-Qur’ãn sebagai sebuah kitab, sehingga
pengertiannya adalah “pembacaan/pelafalan Al-Qurãn”. Kenyataannya, bacaan utama
shalat adalah Al-Qurãn.
Pada
ayat di atas, yang tak kalah
menarik adalah penyebutan qur’ãnal-fajri (shalat subuh) sebagai
masyhûd/مشهود . Kamus Hans Wehr menyebut pengertian masyhûd antara
lain sebagai memorable, dan pengertian memorable itu selain deserving to
be
remembered (patut diingat) juga remarkable (luar biasa; menarik
perhatian;
mengesankan). Namun melihat bentuk morfologisnya sebagai ismul-maf’ûl
(past
participle; passive), maka penulis menerjemahkan kata masyhûd ter-sebut
menjadi
terpampang dalam ingatan.
Jelaslah bahwa kedua ayat dalam
surat Al-Isra ayat 78-79 ini sangat berkaitan dengan surat Al-Muzzammil,
khususnya dalam konteks internalisasi Al-Qur’ãn. Selain itu di sinilah kita
dapati penegasan bahwa perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qurãn itu hanya
berlaku untuk “sebagian malam” bukan untuk setiap malam.
Mengapa dipilih waktu malam hari
untuk melakukan pengkajian Al-Qurãn? Surat Al-Muzzammil ayat 5-9 menjawab
demikian:
5. Pasti (bila dilakukan pengkajian
demikian), kami akan resapkan suatu konsep/ pedoman hidup yang maha berbobot.
6. Suasana malam itu benar-benar
cocok, dalam arti lebih mendukung pemahaman ujaran (ilmu/konsep);
7. Sedangkan pada siang hari kamu
mempunyai banyak kesibukan.
8. Maka (pada malam hari)
tancapkanlah ajaran Rabbmu ke dalam kesadaran, selanjutnya berpeganglah kamu
kepadanya sekuat-kuatnya.
9. (Dialah Allah) penguasa Masyriq
dan Maghrib; hanya dia yang layak dijadikan illah. Maka jadikanlah ajarannya
sebagai satu-satunya andalan.
Ayat 5 menegaskan bahwa melalui
pengkajian di malam hari itulah Allah akan ‘meresapkan’ (terjemahan bebas dari
sanulqi/سنلقى) kepada pelakunya suatu konsep
(terjemahan dari qaulan/قولا , yang harfiahnya berarti
perkataan), yakni Al-Qurãn, yang mahaberbobot. Tentu yang dimaksud adalah
berbobot ilmiah, sehingga sangat layak dijadikan pedoman hidup. Ingat saja
pernyataan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 2: Itulah Al-Kitãb(u) – yakni
Al-Qurãn – yang tidak mengandung hal-hal yang meragukan (sehingga layak)
menajdi pedoman hidup bagi mereka yang bertakwa.
Ayat 6 lagi-lagi menegaskan alasan
pemilihan waktu malam, yaitu karena sifatnya yang lebih mendukung pemahaman
ujaran (ilmu/ konsep). Kata ujaran sengaja dipilih karena penulis mengingat
bahwa bagi orang Indonesia kata ujaran, paling tidak pada masa dahulu,
merupakan kata yang berkaitan dengan nasihat orang tua, yang sering dianggap
fatwa. Selain itu, tentu saja, kata ujaran juga cocok digunakan sebagai padanan
(harfiah) dari kata qïlan (bentuk lain dari qaulan) dalam teks ayat.
Ayat 7 memberikan penegasan tentang
pemilihan waktu malam itu dengan cara memperbandingkan antara situasi malam
dengan situasi siang. Bila situasi malam adalah lebih mendukung pemahaman
ujaran, situasi siang tentu sebaliknya, yakni kurang mendukung untuk pemahaman
ujaran, karena adanya kesibukan berantai, sambung menyambung antara satu
kegiatan dengan kegiatan yang lain sesuai tuntutan kehidupan, kecuali bagi kaum
pengangguran atau orang-orang yang memang tidak bertanggung-jawab.
Pada
ayat ke-8 kita dapati peralihan
perintah, dari qum/قم dan rattil/رتّل menjadi udzkur/اذكر dan
selanjutnya menjadi tabattal/تبتّل , sebagai isyarat adanya proses
peningkatan. Bangun
malam untuk belajar, harus ditingkatkan dengan ‘mengangkut’ apa yang
dipelajari
ke dalam ruang kesadaran (dzikrun/ذكر), dan selanjutnya apa yang sudah
masuk ke dalam kesadaran itu harus dipegang sekuat-kuatnya, dijadikan
suatu
pendirian.
Ayat 9 adalah rasionalisasi dari
perintah tabattal, yang harfiahnya menurut Kamus Al-Munawwir adalah
meninggalkan kehidupan duniawi untuk beribadah kepada Allah, yang merupakan
saduran dari definisi kamus Al-Munjid: inqatha’a ‘anid-dunya ilallahi (انقطع عن الدنيا
إلى الله).
Tapi haraf dicatat bahwa pengertian ini sangat berbau tasauf; sama seperti yang
dilakukan Muhammad sebelum menjadi rasul adalah tindakan yang berbau tasauf,
suatu ajaran (paham) yang oleh Drs. H. Abdul Qadir Djaelani ditenggarai sebagai
bersumber pada ajaran Hindu. (Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, 1996).
Konteks surat mengisyaratkan bahwa
kata perintah tabattal itu masih berkaitan dengan perintah bangun malam untuk
mengkaji Al-Qur’ãn dan memasukkannya ke dalam kesadaran. Karena itulah penulis menerjemahkan
tabttal ilaihi tabtïlan dalam ayat 8 itu menjadi berpeganglah kamu kepadanya
sekuat-kuatnya.
Kemudian, sekali lagi, ayat 9 adalah
‘rasionalisasi’ dari perintah-perintah yang diberikan, yaitu karena Dia (Allah)
adalah penguasa Masyriq dan Maghrib, ajarannya sangat layak dijadikan andalan. Andalan
adalah terjemahan penulis untuk wakïl/وكيلا. Kita sering mengartikan wakil
sebagai “pengganti” atau “orang kedua”, padahal wakil juga bisa berarti
“pewujud”. Orangtua ada kalanya merasa “terwakili” oleh anaknya, ketika ia
melihat anaknya mampu melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu
melakukannya. Dalam konteks ayat ini, kata perintah fattakhid-hu wakïlan/فاتخده وكيلا tentu bukan perintah untuk
menjadikan Allah sebagai pengganti, orang kedua, atau pewujud atau pelaksana
petunjuknya sendiri. Allah sebagai oknum memang pelaksana segala kehendaknya.
Tapi sebagai pemberi petunjuk, ia menjadikan petunjuknya itu sebagai wakil
dirinya. Kenyataannya, tidak ada wakil (pengganti) yang lebih representatif dari
ajaranNya. Karena itulah, hanya ajaranNya yang bisa diandalkan. Dengan kata
lain, pada satu sisi, di sini Allah mengingatkan manusia tentang otoritas dan
hak prerogatifnya yang mutlak untuk mengajari manusia, berdasar kenyataan bahwa
dia mahakuasa. Pada sisi lain, kebenaran ajaran Allah adalah sesuatu yang pasti
terjamin (you may take it for granted).
Pada ayat 10 kita dapati lagi dua
perintah yang merupakan peningkatan dari perintah-perintah sebelumnya. Yang
pertama dalah ishbir/اصبر , yaitu teguh bertahanlah atau bisa
juga diterjemahkan menjadi pertahankanlah. Kedua penerje-mahan ini mempunyai
pengertian yang sama, yaitu bila bertahan bertahanlah dengan menjadikan ajaran
Allah yang sudah diresapkan ke dalam diri sebagai alat pertahanannya. Bila
pertahankan pertahankanlah ajaran Allah itu, jangan sampai lepas lagi dari
kesadaran karena adanya tantangan yang berupa mã yaqûlûna/ما يقولون , yaitu “propaganda” mereka atau
ajaran mereka (orang-orang kafir), yang tentu merupakan lawan atau tandingan
ajaran Allah.
Bila perintah pertama, pada ayat 10
ini, merupakan perintah bertahan (defensif), yang kedua – uhjur/اهجر – adalah perintah untuk ‘lari’ atau membebaskan diri
dari propaganda mereka, dengan catatan bahwa hal itu harus dilakukan dengan
cara yang elok (jamïlan/جميلا). Jelasnya bagaimana? Bila yang
dihadapi adalah orangtua sendiri, misalnya, surat Luqman ayat 15 memberikan
jawaban demikian:
وإن جاهداك على
أن تشرك
بى ما
ليس لك
به علم
فلا تطعهما
وصاحبهما فى
الدنيا معروفا
واتّبع سبيل
من أناب
إليّ ثمّ
إليّ مرجعكم
فأنبّئكم بما
كنتم تعملون
Bila mereka (ibu-bapak) berdua
bersikeras mengajakmu untuk mencampur-aduk apa yang kamu terima dariku (Allah)
dengan apa yang tidak diajarkan kepadamu, maka janganlah kamu ikuti keduanya.
Tapi dampingilah mereka dalam kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya.
Tegasnya, ikutilah jalan hidup orang yang merujuk ajaranku (para rasul).
Selanjutnya (wahai orang-orang beriman) jadikanlah ajaranku sebagai rujukan,
sehingga dapat kupaparkan apa-apa yang harus kalian lakukan.
Ayat 11 mengungkapkan kepada kita
siapa sebenarnya yang melakukan “propaganda” itu. Mereka adalah para
mukadzdzibïn, yakni para penipu masyarakat dengan gado-gado atau adonan haq dan
bathil. Kelebihan mereka dari orang kebanyakan, sehingga mampu mengendalikan
kehidupan adalah karena mereka merupakan ûlïn-na’mah/أولى النعمة , yaitu penguasa segala fasilitas
kehidupan, baik karena mereka orang-orang kaya, maupun karena mereka pewaris
kekuasaan (kaum ningrat), atau karena mereka tokoh-tokoh intelektual (ulama,
sarjana dsb.).
Allah menegaskan dalam ayat ini
bahwa menghadapi mereka adalah urusan Allah, bukan urusan si Muzzammil yang
baru sedang membangun kesadaran ilmiah; apalagi bila si Muzzammil itu secara
ekonomi melarat, status sosialnya cuma kuli dan budak, dan jluntrung (sosok)
intelektualitasnya juga dianggap tidak meyakinkan (incredible).
Kata perintah dalam ayat ini adalah
dzarnï/ذرنى , serahkan padaku (Allah), sebagai
penegasan bahwa si Muzzammil memang tak punya kekuatan untuk menghadapi para
penguasa fasilitas kehidupan itu. Dengan kata lain, si Muzammil tidak mempunyai
kemampuan untuk bersikap ofensif (menyerang). Kata perintah lainnya adalah
mahhilhum/مهّلهم , biarkan mereka merasakan
kesenangan, yang waktunya sebenarnya tidak lama (qalïl/قليل). Tapi ‘tidak lama’ ini jangan dianggap cuma beberapa
hari atau bulan. Bila pada ayat berikutnya kita jumpai kata yaum/يوم (yang biasa diterjemahkan sebagai hari), ingatlah
bahwa yaum ini disebut dalam konteks periode yang mewadahi masa berlakunya
suatu bentuk kehidupan berdasar konsep atau ideologi tertentu. Karena itulah,
bila ingin menghadapi mereka, lakukanlah dengan pertama-tama memperkokoh diri
dalam bidang ideologi. Di sini sumber ideologi yang ditawarkan Allah adalah
Al-Qurãn.
Ayat 12 mengingatkan kepada si
Muzzammil bahwa Allah memiliki belenggu dan penjara. Keduanya, baik belenggu
(ankãlan/ أنكالا) maupun penjara (jahïman/جحيما) adalah kiasan. Jadi, jangan membayangkan rantai dan
jeruji besi; sebab belenggu dan penjara yang dimaksud adalah segala sesuatu
yang merupakan ‘sifat bawaan’ dari konsep hidup yang bathil. Ibarat narkoba,
konsep hidup bathil itu mengandung lebih banyak zat berbahaya di samping zat
penenang atau pelipur laranya yang cuma sedikit. Namun hal itu tidak disadari
oleh para pelakunya, sama seperti para pecandu narkoba juga tidak menyadari
dampak buruk narkoba. Karena itu Allah mengatakan, “Seandainya orang-orang
zhalim itu tahu, pastilah mereka mengerti (bahwa cara hidup mereka adalah)
azab.” (Al-Baqarah ayat 165).
Ayat 13 menggambarkan ajaran bathil
itu sebagai makanan atau hidangan (tha’ãman/طعاما)
yang di dalamnya terkandung zat yang menyesakkan (dza gusshah/ ذا غصّة), yang tentu mendatangkan
penderitaan yang amat pedih (‘adzaban alïman/عذابا
أليما).
Ayat 14 menjawab pertanyaan tentang
kapan terjadinya azab bagi mereka itu dengan gambaran peristiwa yang terjadi
pada suatu masa (yaum); yaitu ketika bumi dan gunung-gunung berguncang,
sehingga akhirnya gunung-gunung itu longsor atau melorot seperti
onggokan-onggokan pasir.
Bila gambaran dalam ayat ini
dimaknai harfiah, ingatlah bahwa gambaran ini dipaparkan sebagai hiburan
(basyïrun/بشير) kepada si Muzzammil yang disuruh
berjuang untuk memahami Al-Qurãn. Bila si Muzzammil itu adalah orang-orang yang
‘frustrasi’ karena tersingkir dari segala pentas kehidupan, maka ‘hiburan’
Allah ini benar-benar tidak lucu. Bayangkan! Ketika anda sedang hidup dalam
serba kesusahan, tiba-tiba datang orang memberikan sebuah buku. Orang itu
bilang, “Kajilah buku ini sampai tuntas. Jangan pedulikan orang-orang jahat di
luar sana. Nanti juga mereka akan dapat bencana. Kapan? Ya nanti, kalau dunia
ini sudah hancur!” Mendengar hiburan tidak lucu itu, mungkin anda akan berkata,
“Keburu mati doong kita!”
Tentu Allah, dengan menawarkan
Al-Qurãn, tidak bermaksud memberikan hiburan yang menipu, tapi di lain pihak
kita juga harus memahaminya dengan wawasan ilmiah. Ayat 14 ini adalah ungkapan
berwawasan sejarah sekaligus politik. Dalam konteks sejarah, jelas kita melihat
tak ada sesuatu (kekuasaan atau apa pun) yang kekal. Dalam konteks politik,
ketika suatu bentuk (sistem) kehidupan sudah mencapai masa akhirnya, sehingga
terjadi pergolakan, maka ‘gunung-gunung’ (para penguasa ‘orde lama’) itu pasti
berguguran. Karena itulah penulis menerjemahkan ayat 14 ini demikian:
Suatu masa (ada giliran) bumi
(pendukung sistem kehidupan) dan gunung-gunung (penegak sistem) berguncang
(bergejolak), sehingga pada waktu itu gunung-gunung pun longsor seperti
seonggok pasir.
Ayat 15-16 adalah murni berwawasan
sejarah. Di sini pula kita mendapati perubahan lawan bicara Allah, dari ka/ك
(kamu) menjadi kum/كم , menandai bahwa tugas bangun malam
untuk mengkaji Al-Qur’ãn itu tidak hanya berlaku bagi Nabi Muhammad. Ayat 15
menegaskan dua hal. Pertama tentang status rasul sebagai syahïd atau pewujud
ajaran Allah, sehingga selanjutnya menjadi uswah hasanah; dan kedua tentang
kesamaan status Nabi Muhammad dengan Nabi Musa. Kesamaan itu bukan hanya pada
status mereka sebagai syahïd, tapi juga kesamaan missi mereka sebagai nadzïr,
yaitu penyampai peringatan Allah bahwa kehidupan bathil sedang menjemput
kehancuran. Dalam konteks Nabi Musa, ayat 16 menyebutkan bahwa Fir’aun
menentang Sang Rasul (Musa) sehingga akhirnya ia tertimpa azab maha keras.
Ayat 17-18, selain berwawasan
sejarah juga filosofis:
17. Bagaimana cara kalian
menyelamatkan diri, bila kalian menolak (untuk mempelajari) suatu masa (pergiliran
sejarah), yang akan mengubah para bayi (konsep, ideologi) menjadi manusia
tua-renta (tak berdaya, kadaluarsa)?
18. (perubahan itu menyebabkan)
as-samã’ (tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini
merupakan rumusannya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.
Kedua ayat inilah yang pada
hakikatnya mendasari pemikiran para ahli sejarah Barat dari mazhab filosofis.
Ambil saja Oswald Spengler (filsuf Prusia), yang mengatakan bahwa setiap
peradaban akan mati. Bermula dari Musim Semi (spring) sebagai awal
pertumbuhannya, setiap peradaban matang menjadi Musim Panas (Summer) dengan
terwujudnya prestasi-prestasi fisik terbesarnya, terus memasuki Musim Gugur
(Autumn) dengan dicapainya prestasi-prerstasi intelektual, dan akhirnya
merosot, memasuki Musim Dingin (Winter), lalu mati.
Bila Spengler menggambarkan
peradaban dengan analogi musim – atau tumbuhan yang tak terpisahkan dengan
musim, Allah menggunakan analogi manusia, yang bermula dari bayi dan akhirnya
menjadi tua-renta. ‘Penyakit tua’, kata Nabi Muhammad, adalah penyakit yang tak
ada obatnya. Begitu juga halnya peradaban yang sudah tua, sudah mengalami
degenerasi (hilangnya kualitas-kualitas normal atau ideal). Liang kubur sudah
di depan mata. Kedua analogi tersebut intinya sama: ada pertumbuhan awal,
perkembangan, peningkatan, dan akhirnya kemerosotan.
Melalui kedua ayat ini, dan dua ayat
sebelumnya, agaknya Allah hendak menegaskan bahwa para rasul, setidaknya Musa
dan Muhammad, diutus justru pada saat-saat genting, yakni di ujung keruntuhan
peradaban yang pernah berjaya. Kedatangan rasul, dengan membawa ajaran Allah (=
konsep peradaban alternatif) jelas merupakan juru selamat bagi orang-orang yang
ingin terhindar dari bencana kerontokan ‘gunung peradaban’ yang menjelang mati.
Kata Allah dalam ayat 19:
Ini adalah peringatan yang sangat
gamblang. Siapa pun yang suka (mematuhinya), maka berjuanglah dia menempuh
jalan hidup yang diajarkan tuhannya.
Ayat 20 adalah penegasan ulang dari
perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qurãn, dengan catatan bahwa ayat-ayat
yang sudah dikaji harus dihafal, lalu dibawa ke dalam shalat (tahajud),
sehingga hafalan itu melekat dalam ingatan dan selanjutnya – meminjam kata-kata
Mudji Sutrisno – menjadi sesuatu yang afektif menyatu dengan dirinya.
Jadi, shalat adalah sarana
pemantapan hafalan dan peresapan ke dalam kesadaran. Bila hal itu sudah
dilakukan, perintah berikutnya adalah wujudkan zakat, yakni gerakan pembabatan
ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah. Mengapa zakat diartikan
demikian? Jawabannya sederhanya saja: zakat secara harfiah berarti
pembersihan/pembabatan (rumput dsb.) dan penumbuhan. Dalam konteks (qarinah)
surat ini yang berisi gagasan pokok tentang internalisasi Al-Qurãn, yang bisa
diibaratkan sebagai usaha menanam sejenis tumbuhan, maka penerjemahan zakat
menjadi pembabatan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah adalah
sesuatu yang logis. (Jadi istilah zakat di sini tak ada kaitannya dengan
istilah zakat dalam ilmu fiqh, yang lebih berkonotasi pada persoalan ‘pajak’).
Perintah pamungkas dari surat ini
adalah istaghfirû/استغفروا , yang biasa diartikan minta
ampunlah kalian. Tapi penulis menerjemahkan perintah istaghfirûllaha/استغفرواالله menjadi: (melalui pengkajian Quran
dan shalat ini) bangunlah kerinduan untuk melakukan perbaikan hidup dengan
ajaran Allah. Mengapa? Alasan morfologis-(sharfiyyah)-nya adalah karena
penambahan alif-sin-tã’ alias ista/است pada kata kerja berpola dasar
(fa’ala/fa’ila/fa’ula) mengubah makna kata menjadi bersifat menuntut, alias
meminta, alias mengharaf. Misalnya, bila ghafara/غفر
berarti menutup/غطا atau memperbaiki/اصلح , maka istaghfara/استغفر
tentu berarti – ambil salah satu makna kamus – mengharapkan perbaikan.
Pengertian ini diambil karena inilah yang menurut penulis cocok dengan konteks
gagasan surat secara keseluruhan, yaitu tentang perbaikan hidup dengan
menjadikan ajaran Allah sebagai pilihan.
Dalam bentuk kata perintahnya,
mengharapkan tentu menjadi harapkanlah. Tapi dalam penerjemahan di atas,
penulis mengubah harapkanlah menjadi bangunlah kerinduan, supaya terasa lebih
tajam dan agak dramatis.
Kesimpulan
1. Surat Al-Muzzammil adalah kiat
internalisasi Al-Quran yang diajarkan oleh Allah; yaitu dengan cara bangun
malam, rattil/kaji Al-Quran sesuai kemampuan, hafalkan, lalu bawa ke dalam
shalat tahajjud.
2. Me rattil/mengkaji Al-Quran
adalah tuntutan logis bagi siapa pun yang hendak menjadikan Al-Quran sebagai
pegangan hidupnya. Karena itu pengkajian Al-Quran harus dilakukan melalui
prosedur yang benar.
3. Pengkajian Al-Quran juga bukan
hanya urusan pribadi-pribadi yang satu sama lain tak punya kesatuan tujuan, tapi harus merupakan gerakan mobilisasi
massal di tengah para pengikut Nabi (fase shalat jumat); agar tercipta satu
umat yang mempunyai kesamaan pandangan dan kesadaran, sehingga mampu menghadapi
tantangan zaman.
4. Para pengikut Nabi Muhammad harus
berpikir filosofis-historis, untuk menyadari bahwa konsep-konsep ciptaan
manusia tidak akan selamanya berjaya. Tapi bila konsep Allah pun tidak dipahami
dengan baik, tidak mempunyai pendukung yang tangguh, maka konsep manusia yang
satu akan digantikan konsep manusia yang lain; sehingga dunia ini bisa menjadi
neraka selamanya.
Demikianlah. Mudah-mudahan tafsir
yang penulis ajukan ini tidak terlalu mengejutkan, dan bisa menggugah pembaca
untuk melakukan usaha lebih keras dalam mengakrabi Al-Quran.
Patut pula diketahui bahwa naskah
ini sebenarnya merupakan ringkasan – dan di sana-sini ada pula revisi – dari
diktat yang ditulis pada tahun 1999.
Daftar pustaka
Berikut ini adalah buku-buku yang
penulis baca untuk melengkapi detail ketika menulis diktat yang mengungkap
gagasan surat Al-Muzzammil.
1. Mushhaf Al-Qurãn
2. Kamus Al-Munjid
3. Kamus Al-Munawwir, A.W. Munawwir,
Pustaka Progresif, 1997
4. A Dictionary of Modern Written
Arabic, Hans Wehr & J. Milton Cowan
5. Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, 1997
6. Jews, God And History, Max I.
Dimont, New York, 1962
7. Ajaran Dan Sejarah Islam Untuk
Anda, Pustaka Jaya, Jakarta 1979
8. Sirah Muhammad Rasulullah, H.
Fuad Hashem, Mizan, 1989
9. Muhammad and The Jews, Barakat
Ahmad, New Delhi, 1979
10. Sejarah Hidup Muhammad, Haekal,
Dunia Pustaka Jaya, 1979
11. Al-Qur’an, Realita Sosial Dan
Limbo Sejarah, Syafi’I Ma’arif, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985
12. The Quran, Dar Al-Choura,
Beirut, Lebanon, 1980
13. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Manna
Khalil al-Qattan, Litera AntarNusa, 1992
14. Ensiklopedi Islam, Jilid 4,
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
15. Dll.
Catatan
Naskah ini pernah dimuat di jurnal
Studi Islam UNJ (Universitas Negeri Jakarta).
Posting Komentar
Posting Komentar