KOMPARASI STUDY SURAT AL ALAQ


WAWASAN SURAT AL-'ALAQ (ayat 1-5)

Sejarah ialah peredaran hidup manusia diatas dua prinsip yang berlawanan, dan dilakukan oleh pelaku yang berbeda. Prinsip sajarah yang diajukan olah Allah dalam Al-Qur'an ini, meliputi nasib seluruh manusia, sedangkan sejarah menurut manusia, hanyalah berupa catatan peristiwa masa lalu yang dianggap benar-benar terjadi, dengan diperkuat oleh saksi sejarah, pada umumnya hanya menyangkut kekuasaan, perjuangan, penjajahan dan lain sebagainya, tanpa menilai dari prinsip sejarah itu sendiri.

Allah memulai penciptaan peradaban/kebudayaan manusia dengan menciptakan Adam dan serta kolega sejawat dan keturunannya, sekaligus mengajarkan kepada Adam tentang dua nilai yang terkenal dengan tahu dan tidak tahu, tahu melalui belajar berarti menerima pantulan Nur atau Cahaya penerang sedangkan lawannya adalah tidak tahu atau bodoh, akibat tidak mau belajar sebagai pelambang dari kegelapan atau Dzulumat, yang berarti bayangan yang menutupi pandangan matanya sehingga manusia seperti itu dikatakan Jahiliyyah atau Bodoh/Jahil.

Nur adalah cahaya ilmu dari Allah, ibarat cahaya matahari yang datang dari matahari menuju bulan dan dipantulkan ke bumi disebut Nur, maka seperti itulah Allah mengajarkan kepada manusia bahwa hidupnya bukanlah Subjek tetapi mewakili subjek yaitu Nur Allah yaitu Ajaran Allah mulai dari Adam sampai dengan Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur'an.

Setiap kali para Nabi wafat, maka ajaran Allah yang telah menyelamatkan umat manusia itu diputar balik menjadi Bathil, maka Nur tidak lagi memancarkan sinar terang, hati tidak lagi memancarkan Nurani, tetapi sudah menjadi Dzulmani atau hati yang gelap. Setiap kali ajaran Allah ini dikirimkan oleh Allah melalui Rasul-Rasulnya, maka manusia itu mengejek dan mempermainkan petunjuk Tuhan itu, sehingga massal manusia baik yang kaya maupun yang miskin, baik yang penguasa maupun rakyat jelata, semuanya terjerumus kedalam kesesatan yang tidak disadarinya. Mereka justru menganggap bahwa kedatangan para Utusan Allah itu hanyalah lagu lama, ingin mencari popularitas, ingin kedudukan dan sebagainya. Untuk itulah artikel ini khusus akan mengupas wawasan surat Al-'Alaq yang demikian hebatnya sehingga banyak manusia tidak bisa menerima ajaran Allah itu, karena dianggap bertolak belakang dengan pengetahuan yang dimilikinya.

1. Bacalah (Al-Qur'an) atas nama Pembimbing kehidupanmu yang telah mencipta.



Pertama kali Allah memerintahkan manusia agar Baca sehingga apa yang dibaca dipahami, bukan baca yang tidak dipahami seperti kebanyakan orang saat ini yang membaca Al-Qur'an tanpa mau tau tentang artinya yang terkandung didalam bacaan itu, sambil membela diri mereka mengatakan kan Allah mengerti walaupun saya tidak mengerti. Salah satu yang sangat tidak mau diterima oleh mausia sekarang ialah, bahwa Allah itu adalah Khaliq atau Pencipta. Kita sudah dibodohi dengan ajaran yang mengatakan bahwa ada ciptaan Allah ada ciptaan manusia..? Ini adalah ajaran Musyrik, ajaran yang men-dualisme-kan keagungan Pencipta yaitu Allah. Untuk mengetahui siapa manusia itu maka mari kita teruskan pada ayat 2 surat Al-'Alaq :
:

2. Dia (Allah) telah mencipta manusia dari sel-sel darah


(seperti itulah Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul ini untuk budaya manusia).


Pada ayat 2 ini Allah mau memberi pengertian kepada manusia, bahwa kita manusia ini asalnya hanya dari segumpal darah yang tidak bisa apa-apa, tapi setelah diciptakan malah menjadi keras kepala.

Coba bayangkan sekarang, jikalau kita masuk ke rumah kita, adakah didalam rumah kita benda-benda yang kita lihat merupakan ciptaan Allah? Allah telah terusir dari rumah kita, piring ciptaan manusia, ubin ciptaan manusia, genteng ciptaan manusia, kalau kita tanya yang ciptaan Allah yang mana? jawabnya sambil menunjuk matahari, bulan yang jauh. Jika kita tanya apakah mobil itu bukan ciptaan Allah, jawabnya bukan, Allah tidak ikut campur dalam penciptaan teknologi, Allah hanya menciptakan pasti alam saja. Luar biasa kurang ajarnya manusia, Allah sebagai Khaliq sudah diganti menjadi manusia juga bisa menjadi Khaliq atau menusia juga bisa mencipta. Inilah pergeseran alam pikiran kebanyakan manusia abad ini hasil warisan nenek moyangnya. Semua yang dikerjakan oleh manusia telah diakui sebagai ciptaannya, termasuk sayur asam ini ciptaan siapa, itu ciptaan koki terkenal, Allah tdak lagi ada dalam kesadarannya. Ingat saudara, kata Allah, "Kami tidak mencipta Jin dan manusia kecuali untuk mengabdi hidup kepada KU" ini berarti semua yang telah manusia lakukan adalah merupakan Ciptaan Allah. Kalau semua Makhluk mau mengklaim karyanya menjadi ciptaannya, maka buah jambu bukan ciptaan Allah, tapi ciptaan Pohon Jambu, hujan bukan ciptaan Allah tapi ciptaan awan dan lain-lain sebagainya. Inilah pergeseran nilai yang sangat jauh, sehingga manusia yang merasa beriman itu, ternyata alam pikirannya sudah terjerumus kedalam jurang kekufuran.



3. Bacalah (Al-Qur'an) yakni ajaran Pembimbing Kehidupan anda yang mempunyai nilai-nilai kehidupan mulia.

Selama ini Al-Qur'an oleh kebanyakan umat Islam hanya dipandang sebagai Kitab Suci, yang jika dibaca akan mendapatkan pahala, walaupun si pembaca tidak paham apa-apa. Pada hal pada ayat ini Allah menegaskan bahwa nilai kehidupan budaya/peradaban mulia itu ada didalam Al-Qur'an andaikan manusia memahami apa yang dibaca. Memang pergeseran nilai dimana Allah yang disebut dengan kalimat di Indonesia sebagai Tuhan, dianggap hanya berkuasa di akhirat nanti, sekarang ini manusia katanya diberi kebebasan untuk berbuat semaunya, nanti di Akhiratlah Allah akan menghukum dengan Hukum-NYA dan tidak di Bumi ini. Inilah pandangan yang sangat keliru, sehingga Umat Islam menjadi terjerumus kedalam Ibadah Ritual semata, dan tidak berperan dalam kehidupan dunia ini sebagai ladang untuk dipanen di Akhirat nanti. Ibadah pun hanya dipahami sebagai hal-hal yang berhubungan dengan perintah Tuhan seperti Shalat, Shaum, Zakat dan Haj. Sedangkan bekerja, memasak di dapur itu tidak dapat pahala karena dianggap bukan Ibadah. Pada hal setiap gerak hati, setiap ucapan, setiap perkataan dan setiap perbuatan selalu dan selalu dinilai oleh Allah apakah masuk katagori Mu'min atau Kufur. Yang gampang saja kalau kita tanya apa hukum Fiqh kalau Umat islam makan yang baik-baik, apakah dapat pahala, maka jawabnya tidak, karena makan dan minum itu bukan ibadah. Padahal, makan dan minum itu diperintahkan oleh Allah, bagaimana mungkin setiap yang diperintah itu ada yang dapat imbalan ada yang tidak.

4. Dia (Allah) yang telah mengajarkan ILMU (Al-Qur'an) dengan perantaraan qalam.

Al-Qur'an ini adalah Qalam Allah, dengan Al-Qur'an maka Allah memberitahukan manusia yang ini baik yang itu jelek, itu matahari sumber cahaya (kalamnya menunjuk matahari) itu bulan Pemantul cahaya, semuanya Aku yang menciptakan dan lain sebagainya. Jadi Kalam Allah itu adalah rangkaian keterangan tentang segala sesuatunya untuk mengatur kebudayaan/peradaban manusia. Dengan kata lain kalam Allah itu adalah Al-Qur'an yang tidak bisa dipegang dengan tangan manusia tapi hanya bisa dipegang dengan hati. Bahwa Kitab Al-Qur'an yang di jual di toko Buku itu bukan Al-Qur'an tetapi Mushaf atau salinan Al-Qur'an. Singkatnya Al-Qur'an itu hanya berada dilangit dunia sekarang ini, dan harus kita rebut menjadi isi hati seorang mukmin/muslim.

5. Dia (Allah) yang telah mengajarkan manusia segala sesuatu yang tidak/belum pernah diketahui sebelumnya.

Manusia mempunyai pengertian tentang segala sesuatu, ada yang sangat luas wawasannya, ada yang terbatas, tapi semua manusia normal pasti memiliki pengertian. Pertanyaannya ialah dari mana pengertian itu datangnya, atau siapakah yang memberi pengertian kepada manusia? Guru hanya berbicara didepan kelas, dia tidak pernah tahu apakah yang telah disampaikan itu membentuk pengertian muridnya atau tidak, sang Guru tidak tahu, oleh karena itu ada Evaluasi untuk mengukur sampai dimana pengertian siswanya. Pada ayat 5 surat Al 'Alaq ini Allah menegaskan bahwa Allah-lah sebenarnya yang mengajarkan manusia, melalui belajar sendiri melalui membaca atau rattil/study di malam hari kemudian shalat tahajjud (QS 17:79), disana lah Allah mengutus perangkatnya, malaikat Jibril, menurunkan pengertian dan pemaknaan ayat per ayat yang kita pelajari/rattil (QS 2:97), melihat segala sesuatu dan mendapatkan pengertian. Sebenarnya Allah jualah yang memberi pengertian kepadanya, walaupun manusia itu tidak mau menyadari hal ini. Kita tentunya bertanya, kemana pengertian kita tentang segala sesuatu itu, apabila kita telah tidur atau pingsan? Oleh karena itu azab yang paling besar bagi manusia itu bukan Tsunami, bukan Gempa Bumi berskala besar dan lain-lain sebagainya, tapi azab yang paling besar apabila telinga sudah tidak dapat mendengar karena tuli, mata tidak dapat melihat karena buta. Allah mengajukan pertanyaan : Apa sama orang buta dengan orang yang bisa melihat, apa sama orang tuli dengan orang yang mendengar? Tapi karena ini adalah masalah Budaya/peradaban manusia, maka ada manusia yang melek tapi sebenarnya dia buta karena tidak pernah bisa memahami ajaran Allah, hatinya telah membatu dan dia tidak pernah mengetahui Firman Tuhannya. Oleh karena itu, mumpung masih ada waktu, mumpung masih bisa membaca, maka fahamilah Wahyu Tuhan itu, agar kita mendapat Hidayah/petunjuk yang akan menuntun kita keluar dari kegelapan/kebodohan menuju Nur Allah (bagaikan Cahaya terang benderang) yang dapat menyelamatkan kita di dunia maupun di akhirat nanti.
………………………………….

KAJIAN WAHYU PERTAMA (1)
Setiap membicarakan surat Al-’Alaq sebagai wahyu  yang diterima Nabi Muhammad pertama kali, pada umumnya orang menganggap atau menafsirkan bahwa Jibril menyuruh Muhammad membaca. Ada yang mengatakan Muhammad disuruh membaca tulisan, ada pula  yang mengatakan yang harus dibacanya adalah “situasi”, yaitu situasi kota Makkah dan sekitarnya, mulai dari  keadaan alamnya sampai keadaan masyarakatnya. Dengan kata lain,  satu pihak  mengartikan perintah membaca itu secara harfiah,  yang lainnya menganggap berarti kiasan.
Karena itulah mereka menerjemahkan kata iqra dalam ayat pertama surat tersebut menjadi bacalah. Setahu penulis, baru Yusuf Abdullah Ali dalam The Holy Quran yang menerjemahkannya menjadi proclaim(nyatakan, umumkan).

Sementara itu, dalam A Dictionary Of Modern Written  A rabic, Hans Wehr menyebutkan bahwa arti kata qara-a, khususnya untuk  Quran adalah declaim (berdeklamasi; membaca  di  depan umum sebagaimana membaca syair), atau recite, yang berarti say (especially  poems) aloud from  memory (mengucapkan  —khususnya  syair—  hafalan dengan suara keras).[1] Jadi, declaim dan recite agaknya mempunyai pengertian yang sama.

Dengan demikian, kita mendapatkan tiga makna dari  kata iqra, yaitu:
1. Bacalah
2. Nyatakan/umumkan(lah)
3. Deklamasikan (berdasar hafalan)
Di antara ketiga makna tersebut, yang beredar dalam masyarakat melalui para ustadz dan penceramah adalah pengertian yang pertama (bacalah), dengan tambahan (penafsiran) bahwa membaca yang dimaksud adalah membaca apa saja yang bisa ‘dibaca’, baik bahan-bahan bacaan biasa maupun segala kenyataan hidup yang dijumpai. Dengan demikian, satu segi, kegiatan membaca tersebut berarti kegiatan menuntut ilmu secara umum. Segi lainnya, membaca yang dimaksud adalah melakukan kegiatan kontemplatif (contemplative), yaitu merenungi dan mengambil hikmah (pelajaran) dari segala kenyataan hidup.

Manakah  pengertian  yang benar?
Semua  pengertian  itu adalah  benar. Tapi benar menurut ukuran apa? Secara  harfiah  maupun maknawiah, semua merupakan pengertian yang benar dari kata iqra. Tapi apakah  kata  iqra dalam surat Al-’Alaq itu  bisa  terwakili oleh  salah satu atau semua pengertian  tersebut? Pertanyaan ini tentu harus dijawab dengan hati-hati dan menggunakan metode (prosedur) yang bisa dipertanggung-jawabkan.

Tentu harus diingat bahwa kata iqra itu berasal dari sebuah wahyu atau kalãmullah (perkataan Allah). Melalui teori percakapan (dialog), misalnya, bisa kita ambil sebuah landasan berpikir (metode) untuk membangun pemahaman. Dalam sebuah percakapan, paling sedikit akan kita dapati unsur-unsur:
1.  Pembicara (orang pertama)
2.  Lawan bicara (orang kedua)
3.  Bahan pembicaraan (orang, atau sesuatu)
4.  Bunyi pembicaraan (perkataan —atau teks— seutuhnya)
Dalam konteks surat Al-’Alaq —begitu juga dalam Al-Qurãn secara keseluruhan, yang menjadi pembicaranya adalah Allah, dengan catatan bahwa ia diwakili oleh Jibril, lawan bicaranya Nabi Muhammad, yang dibicarakannya —antara lain — perintah iqra. Dalam teori dialog juga berlaku prinsip bahwa makna setiap perkataan ditentukan oleh pembicara, bukan oleh pendengar atau selainnya. Karena itulah, makna setiap kata dalam surat Al-’Alaq ini juga —bukan hanya kata iqra— ditentukan oleh Allah, bukan oleh kita atau siapa pun.
…………………………..

KAJIAN WAHYU PERTAMA (2)
PERTEMUAN DENGAN JIBRIL

Pada  umumnya orang beranggapan bahwa pertemuan  Muhammad dengan  malaikat penyampai wahyu (Jibril)  pertama  kali terjadi  pada saat Jibril menyampaikan wahyu pertama  di  Goa Hira. Dengan kata lain, sebelum memberikan wahyu pertama  itu Allah  tidak mengadakan komunikasi apa pun  dengan  Muhammad. Tapi dalam Shahih Muslim disebutkan ‘Aisyah, istri Nabi, ber cerita kepada ‘Urwah bin Zubair bahwa wahyu yang pertama kali turun  kepada Nabi adalah berupa  ar-ru’ya-shadiqah  fi-naumi (الرؤي الصديقة فى النوم), yang diartikan orang  sebagai  “mimpi yang  benar di malam hari”. Sementara menurut Hans Wehr  kata ru’ya (jamak: ru-an) selain berarti mimpi (dream) juga  berarti penampakan (vision). Istilah ini populer di kalangan  umat Kristen, karena di antara mereka banyak yang mengaku pernah melihat penampakan Yesus maupun Bunda Maria.

Bisakah  kita mengartikan ar-ru’ya-shadiqah pada  Hadist tersebut  sebagai penampakan Jibril, sebagai awal  perkenalan sebelum menyampaikan wahyu? Tapi bila kita gunakan logika, jawabannya adalah: bisa jadi. Sebab tanpa ada nya  proses perkenalan,  Muhammad tentu akan sangat  terkejut ketika  ia didatangi (pertama kali) oleh Jibril di Goa  Hira. Hadist tersebut bahkan menjelaskan bahwa Muhammad melihat  ar-ru’ya-shadiqah itu begitu jelasnya, karena ia muncul  seperti falaqu-shub-hi (matahari di waktu subuh). Hadist  ini  memang tidak menyebutkan obyek yang dilihat Muhammad, sehingga  kita hanya bisa menduga-duga. Namun paling tidak, Hadist ini  menegaskan  bahwa sebelum menerima wahyu Muhammad sudah  menerima isyarat-isyaratnya. Mungkin berupa ‘penampakan’ Jibril  sebagai awal perkenalan, mungkin pula bukan.

Dalam Hadist ini terdapat istilah al-haqqu (kebenaran) yang tentu digunakan untuk menyebut  wahyu. Tapi di satu sisi istilah ini juga bisa merupakan lawan  kata (antonym)  bagi ar-ru’ya. Dengan demikian, ar-ru’ya-shadiqah itu  bisa berarti “bayangan/isyarat kebenaran”, sehingga  memang tidak perlu ada obyek lain yang dilihat Muhammad, kecuali “semacam cahaya” (mitslu falaqi-shub-hi).

Menurut Hadist itu pula, sejak saat itulah Muhammad  mulai  punya  keinginan untuk menyepi (berkhalwat) di Goa Hira (baca: Rattil dan shalat Tahajjud). Di  sana  ia ‘beribadah’ selama beberapa malam, sampai bekalnya habis, lalu pulang untuk mengambil bekal lagi. Menurut Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad[1], setelah mendapat ‘mimpi’ itu  Muhammad  dilanda kegelisahan selama enam bulan. Bahkan ia  sempat merasa khawatir kalau-kalau dirinya diganggu oleh jin.

Haekal  berasumsi bahwa “…Allah  telah  mempersiapkan pilihanNya  itu dengan memberikan latihan  rohani  sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu datangnya  wahyu pertama.”[2] Penulis  sependapat  dengan Haekal,  tapi dengan catatan bahwa penulis cenderung  menyederhanakan atau menggamblangkan pengertian ‘latihan rohani’ tersebut dengan ‘penampakan’ Jibril, baik dalam wujud dialogis bi qalbu, maupun wujud aslinya maupun  dalam bentuk manusia, sebagai awal perkenalan  dengan Muhammad yang akan menerima wahyu.[3]

Selanjutnya, setelah mengalami kegelisahan dan  mondar-mandir antara rumahnya dan Goa Hira, Al-Malak(malaikat  Jibril) pun datang membawa wahyu pertama. Haekal menggam-barkan demikian:
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: “Bacalah!” Masih dalam ke takutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca?” Seterusnya malaikat itu berkata: “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu  Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya…” Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.

Dalam catatan kaki Haekal menjelaskan lagi:
Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya.  Demikian  juga yang  datang kemudian banyak yang menceritakan  begitu. Hanya  saja sebagian mereka berpendapat bahwa  permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibnu Kathir dalam Tarikh-nya menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na’im al-Ashbahani dalam bukunya Dala’il’n-Nubuwa dari ‘Alqama bin Qais, bahwa “Yang mula-mula didatangkan kepada para nabi itu  mereka  dalam  keadaan tidur (dengan maksud)  supaya  hati mereka  tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: “Ini yang dikatakan ‘Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang baik, diperkuat oleh yang  datang sebelum dan sesudahnya”.

Di lain pihak, Fuad Hashem dalam buku Risalah  Muhammad Rasulullah memuat kutipan dari Ibnu Ishaq sebagai berikut:
Ketika turun malam di saat Allah merahmatinya  dengan tugas kenabian dan memperlihatkan kasih atas hambaNya, malaikat Jibril membawa perintah Tuhan kepadanya. “Ia  datang kepadaku,” kata Rasul, “ketika  saya  sedang tertidur nyenyak, dengan selembar brokat yang ada tulisannya lalu berkata, ‘Bacalah!’ Kata saya, ‘Apa yang akan saya  baca?’ Ia menekan saya dengan lembaran itu  begitu kerasnya sampai-sampai saya merasa akan mati;  lalu  ia melepaskan dekapannya dan berkata, ‘Bacalah!’ Saya  ber kata, ‘Apa yang akan saya baca?’ Sekali lagi ia mendekap saya  sampai saya merasa bagai akan mati; lalu ia  melepaskan dekapannya lagi dan berkata, ‘Bacalah!’ Kata  saya,  ‘Apa yang akan saya baca?’ Ia mendekap saya  ketiga kalinya sampai saya merasa akan mati dan berkata, ‘Baca lah!’  Saya katakan, ‘Apa pula yang akan saya baca?’ Dan saya mengatakan begitu supaya ia melepaskan dekapan nya, kalau tidak ia akan mengulangi lagi. Katanya: Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan, Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmu Maha Pemurah, Yang mengajarkan manusia menggunakan pena, Yang mengajarkan manusia yang tak mereka ketahui. (QS 96: 1-5). “Maka saya membacanya dan ia melepaskan saya.  Dan saya terbangun dari tidur dan seakan kalimat-kalimat itu tertera dalam hati saya.”[4]

Kejadian berikutnya, menurut ‘Aisyah kepada ‘Urwah  bin Zubair, adalah:
Setelah  itu  Rasulullah saw. kembali  pulang,  membawa ayat-ayat dan pengalaman yang baru  dialaminya  itu  dengan tubuh menggigil gemetaran. Sampai di rumah Khadijah,  beliau berkata,  “Selimuti  aku!  Selimuti  aku!” Khadijah  segera menyelimutinya, sehingga hilang rasa keterkejutannya. Kemudian  ia berkata kepada Khadijah, “Wahai  Khadijah,  bagaimana aku ini?” Lalu diceritakannya kepada Khadijah segala peristiwa  yang  baru dialaminya. Setelah itu beliau  berkata,  “Aku cemas terhadap diriku ini.” Jawab Khadijah, “Jangan!  Jangan cemas! Gembirakanlah hati Anda! Percayalah, Allah tidak akan menimpakan  kehinaan pada diri Anda selama-lamanya. Bukankah Anda selalu bersikap ramah tamah, menghubungkan silaturahmi, selalu  berbicara benar, selalu menunaikan  tugas  kewajiban, menyediakan yang belum ada, memuliakan tamu, dan membela orang-orang yang kesusahan demi menegakkan kebenaran!”

Kemudian Khadijah membawa beliau  mendatangi  Waraqah bin  Naufal  bin  Asad bin ‘Abdul ‘Uzza,  yaitu  anak  paman Khadijah, yang telah memeluk agama Nasrani sejak masa  Jahiliyah. Dia pandai menyalin buku-buku ke bahasa Arab.  Antara lain dia menyalin Kitab Injil ke bahasa Arab  seberapa yang dapat  ditulisnya. Dia pun sudah tua dan matanya sudah  buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku! Dengarkanlah anak saudaramu ini (Muhammad) bercerita!” Jawab Waraqah  bin Naufal,  “Hai  anak saudaraku!  Apakah  gerangan  yang  telah engkau alami? Ceritakanlah!”  Rasulullah saw lalu mencerita kan pengalaman yang baru dialaminya. Kata Waraqah, “Itu adalah malaikat (namus) Jibril  a.s. yang pernah datang  kepada Nabi Musa  a.s.  Wahai  diriku! Kalaulah  aku masih muda,… Wahai, kiranya diriku!  Kalaulah aku masih hidup ketika engkau diusir oleh wargamu…” Tanya Rasulullah, “Apakah mereka akan mengusirku?” Jawab  Waraqah,  “Ya,  benar! Tidak  seorang  pun  yang datang  membawa  apa (ayat-ayat) yang engkau bawa itu yang tidak dimusuhi. Sekiranya aku masih mendapati hari itu, pasti aku akan membelamu sekuat-kuatnya.”[5]

Selanjutnya, Fuad Hashem menuturkan demikian:
Thabari menambah catatan Ibnu Ishaq ini (lihat ku tipan  di atas, pen.): “Maka sekarang tak ada di  antara makhluk Tuhan yang lebih membenci saya dari penyair atau orang kerasukan (majnun). Saya malahan tak berani meman dang mereka, pikir saya. Persetan diri saya yang penyair atau majnun — jangan sampai kaum Quraisy menjuluki saya begitu! Saya akan ke bukit dan membuang diri saya ke ba wah supaya mati dan beristirahat. Maka saya lalu berang kat melaksanakan niat ini,” dan kemudian — (menurut ca tatan Ibnu Ishaq lagi): “Di tengah punggung bukit,  saya mendengar suara dari langit yang berkata: ‘Oh  Muhammad, Anda adalah utusan Allah dan saya ini Malaikat  Jibril.’ Saya menengadah ke arah langit untuk melihat (siapa yang berbicara) dan yah, Jibril bersosok seorang pria dengan kaki  mengangkang di cakrawala, seraya berkata, ‘Oh  Muhammad, Anda utusan Allah dan saya Jibril.’ Saya terus menatapnya,” (dan menurut Thabari “itu mengalihkan  perhatian dari tujuan saya semula”) “dan tidak lagi  beranjak ke depan atau ke belakang. Lalu saya mulai memaling kan kepala dari lelaki itu, tapi ke mana pun bagian  langit yang kupandang, saya tetap melihatnya seperti tadi. Dan saya terus berdiri di sana, tidak maju tidak mundur, sampai Khadijah mengirim orang suruhannya untuk mencari saya dan mereka menemukan tempat tinggi ini lalu kembali ke  Khadijah sementara saya tetap berdiri tak beranjak. Lalu ia meninggalkan saya dan saya kembali menemui keluarga saya.” Demikian menurut Ibnu Ishaq.

Keterangan footnote:
[1] diterjemahkan ke  bahasa Indonesia  oleh Ali Audah.
[2] Sejarah Hidup Muhammad, hal. 89, cetakan ketiga, PT Dunia Pustaka Jaya,  1979.
[3] Aisyah bercerita bahwa suatu hari Haris bin Hisyam bertanya kepada Rasulul lah  mengenai cara penurunan wahyu; Rasulullah menjawab: “Kadang-kadang  ia (malaikat)  datang kepadaku seperti suara lonceng, dan itulah  yang  paling berat bagiku, lalu ia pergi setelah aku menghafal apa yang dikatakannya. Kadang-kadang Sang Malaikat datang menemuiku dengan menyamar sebagai seo rang lelaki, lalu menyampaikan kalam (Allah) kepadaku, sampai aku menguasai apa yang dikatakannya.
[4] Sirah Muhammad Rasulullah/Suatu Penafsiran Baru, H. Fuad Hashem,  hal. 125-126, Mizan, Bandung, 1989.
[5] Terjemah Hadits Shahih Muslim jilid 1, hal. 77-79, terjemahan  Ma’mur Daud, cetakan kedua, “Widjaya”, Jakarta 1986.
………………………………..

KAJIAN WAHYU PERTAMA (3)

 “Pengkajian pragmatis”, dalam pengkajian pragmatis itu “bahasa itu sendiri  harus dipahami secara kondisional dan proporsional dari  makna nya yang melambangkan situasi pada terjadinya Nuzulul-Quran”.

Dengan ini para penafsir  Al-Qurãn, untuk mengaitkan kata iqra dalam surat  Al -’Alaq,  atau  surat itu sendiri  secara  keseluruhan,  dengan situasi  dan kondisi saat turunnya.

Agaknya, makna dari iqra, atau wahyu pertama itu, adalah lambang  atau gambaran bagi situasi pada saat itu. Dengan kata lain,  wahyu pertama itu, antara lain, berperan memberikan informasi  atau ilustrasi  bagi situasi dan kondisi masyarakat setempat  (lokal,  regional) pada masa itu. Tentu tanpa melupakan  kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh luar.

Dengan demikian, tinjauan pragmatis yang ditawarkan itu bisa diterjemahkan sebagai “tinjauan terbatas” atau “tinjauan terikat”. Yaitu, peninjauan yang dilakukan dengan batasan kondisi (keadaan yang berkaitan dengan barang, orang atau kejadian) dan proporsi  (penempatan yang  pas), untuk memperoleh ‘bayangan’ dari suatu situasi (keadaan pada suatu masa) yang menjadi latar belakang  turun nya Al-Quran. Tinjauan ini dilakukan di sini khususnya untuk me mahami isi surat Al-Alaq secara ‘keseluruhan’.

Dengan pengertian kata qalam,  dengan uraian sebagai berikut:
Formal  atau verbalnya, istilah al-qalam sama  dengan pena. Pada abad ketujuh, kira-kira istilah al-qalam ini dikhususkan kepada benda yang diruncingkan. Tapi kalau dikembalikan kepada qallama sebagai kata kerjanya, maka formal atau verbalnya di sini sama dengan  membikin qalam. Tapi yang dimaksud qalam secara pragmatis adalah datangnya Jibril ke Gua Hira (baca: dialogis bi qalbu), kemudian mengajukan suatu spanduk kepada Nabi Muhammad, yang bertulisan surat  Al ’Alaq  ayat 1-5, kira-kira seperti  spanduk, dihadapkan kepada Nabi Muhammad yang sedang berkhalwat di Gua Hira. Kemudian Muhammad menjawab: Ma ana bi-qãri’.

Masalahnya secara verbal/formal (jawaban itu) sama dengan (artinya) Muhammad tidak bisa membaca. Tapi secara pragmatis, dihubungkan dengan selesainya penurunan wahyu pertama ini, ketika Nabi Muhammad bergegas pulang, maka di kala Muhammad bergegas meninggalkan  Gua  Hira, Jibril berkata: “Muhammad, anda Rasulullah.” Selesai diturunkannya wahyu ini,  maka  sekaligus penurunan  wahyu pertama ini merupakan pengangkatan  Mu hammad menjadi Rasulullah.

Bahwa istilah  Rasulullah sama dengan  (berarti)  uswatun hasanah.  Al-Quran  sebagai  wahyu adalah sebagai  input kepada  Muhammad, yang selanjutnya, setelah menyatu dengan Muhammad, maka Muhammad menjadi uswah (teladan). Selanjutnya, yang beruswah kepada Muhammad disebut mutawakkilun atau mu’minun, atau ‘abdun, dsb.

Bagi si mu’min (termasuk Muhammad sebagai manusia  biasa, bukan rasul, AlQuran berperan sebagai imam. “Muhammad sendiri  (pribadi) walaupun bertindih dengan Rasulullah, tetap menjadi  ‘abdun (hamba), menjadi  mutawakkilun (representative)”. Jadi,  tidak boleh ‘ada  apa-apanya’ dari  pribadi Muhammad. Karena setelah wahyu masuk ke dalam pribadi  Muhammad, maka segala ucapan yang  merupakan output dari Nabi Muhammad, adalah output yang sama dengan input. Maka kemudian, karena itu, muncullah Al-Quran sebagai Ashdaqal- Hadits.[2]

Kembali kepada surat Al-’Alaq, teori  muhaddatsah (etika percakapan). Ketika  ayat pertama surat tersebut dibacakan Jibril, Muhammad tahu  bahwa dirinya menjadi lawan bicara. Dus, pada ayat itu, iqra  bismi rabbika,  ada  lawan bicara yang tidak (perlu)  disebut  tapi tetap  tersirat, yaitu anta, yang tidak lain dari Muhammad sendiri.  Sebagai  orang yang dibesarkan “di lingkungan  istana”, yang mengalami perkembangan kebudayaan, Muhammad pasti tahu  bahwa  bila  ia menjawab bunyi ayat  itu,  maka  status dirinya sebagai khitab (lawan bicara, komunikan) akan berubah menjadi  mutakallim wahdah (pembicara,  komunikator).  Dengan demikian, anta, yang tersirat dalam ayat pertama itu, akan berubah menjadi ana, yang tersirat atau terucapkan langsung dari jawaban Muhammad. Bila hal itu terjadi, yaitu Muhammad menjawab wahyu yang  disampaikan Jibril, maka tindakan Muhammad itu bisa menjadi preseden yang buruk.
Jelasnya, bahwa Muhammad yang  merupakan  suatu pribadi ‘berbudaya istana’, sebenarnya tahu bahwa ia  bisa menjawab ayat pertama itu dengan kata-kata: (ana) bismi rabbi… Tapi bila ia menjawab demikian, dan karena itu jawaban tersebut harus (?) dibukukan ke dalam AlQuran, jelaslah bahwa ana bismi rabbi itu adalah ciptaan Muhammad!

Tapi ternyata Muhammad memang tidak menjawab demikian, tapi menjawab dengan perkataan Ma anabi-qãri’.  Oleh  sebab itu, maka jawaban Muhammad itu bisa saja  diterjemahkan “Saya tidak bisa membaca”, dalam arti “Saya tidak boleh membaca”. Sebab  kalau dibaca, nanti  Muhammad yang dipersiapkan menjadi ‘abduhu wa rasululuhu (hamba dan rasul Allah) sudah tidak lagi mutawakkilun. Sudah ada  embel-embel nya.

Perhatikan ayat berikut nya dalam surat Al-’Alaq, khususnya ayat kedelapan yang  ber bunyi:  Inna ila rabbika ruj’a….
Raja’a  - yarji’u – ruju’an secara  verbal  diartikan “kembali”,  katanya.  Tapi  kemudian  ia  mengingatkan  bahwa masdar  dari  kata kerja raja’a, yaitu  ruju’an, disalin  ke dalam bahasa Indonesia menjadi “rujukan”, yang sering dipergunakan dalam dunia jurnalistik. Rujukan berarti referensi, katanya. Ayat di atas (surat Al-’Alaq ayat 8) adalah penegasan agar (ajaran) Tuhan (Allah) dijadikan rujukan. Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap kalimat harus ‘dikembalikan’ (di-rujuk-kan) kepada tempat pengambilannya. Karena itu secara  verbal/formal, penerjemahan ruj’a menjadi “kembali” (dalam pengertian “kembali ke rahmatullah”, mati) adalah salah.

Yang kedua, arti lain menurut kamus, ruj’a sama dengan jawabu-risalah, surat jawaban. Jikalau wahyu  adalah risalah, surat kiriman dari Allah, maka segala yang diminta sebagai jawabannya adalah “jawabu-risalah”. Maka  untuk itu Allah memperingatkan dengan lanjutan (wahyu  perta ma) surat ‘Alaq:
Sebaliknya, manusia benar-benar keterlaluan;
Karena beranggapan dirinya kaya pengetahuan;
Padahal sebenarnya (ajaran) Tuhanmulah yang layak jadi rujukan.
Apakah kamu perhatikan orang yang melarang
Seorang hamba melaksanakan shalat?
Yakinkah kami bahwa ia melarang berdasar petunjuk
Dalam arti menyuruhmu bertakwa?
Tahukah (pula) kamu bila ia (hanya) berdusta dan menyesatkan?[3]

Muhammad tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan ia menyadari kenyataan  itu. “Semua jawaban harus kembali kepada risalah  Allah,” selain itu bahwa arti kata qara-a (yang  kemudian melahirkan kata iqra sebagai kata perintah) adalah: mempercakapkan apa yang ternukil dalam sebuah kitab, atau meletakkan pandangan terhadap pandangan yang termaktub dalam kitab itu sendiri.[4] Singkatnya, “membaca sehingga yang dibaca itu menjadi pandangan yang membaca”.

“Sekarang,  dengan  pemakaian  (arti)  bacalah,  (lalu) dijawab saya tidak bisa membaca, terwakili tidak makna  yang terkandung di dalam kata iqra?”. Karena terjemahan tersebut tidak mewakili arti kata iqra, maka ada terjemahan alternatif, yaitu: “Baca, sehingga Anda yang membaca menjadi  (berpandangan)  menurut ilmu pembimbing Anda”. Sama  dengan  (berarti) dimaksud di sini “hidup berpandangan dan bersikap menurut ilmu yang diberikan Pembimbing Anda”.

Pengertian  iqra seperti itulah yang membuat  Muhammad, dengan penuh kesadaran akan ketidakmampuannya, memberikan Jawaban: Ma ana bi-qãri’. Jawaban  tersebut adalah gambaran bahwa Muhammad belum berpandangan  menurut pembimbingnya. Juga merupakan gambaran bahwa Muhammad sadar bahwa jawaban dari perintah itu nanti tergantung dari jawaban yang diberikan Allah juga, sehingga Muhammad benar-benar hanya ‘abidun danmutawakkilun. Perintah dari  Allah, jawabannya juga dari Allah, jawabannya adalah surat Al-Fatihah; yang oleh sebagian ulama konon  disepakati  sebagai wahyu  kedua.  “Al-Fatihah  dengan tujuh ayat ini benar-benar bisa membentuk pandangan si pembaca”, katanya.
Keterangan footnote:
[1] Penulis mengetahuinya melalui transkripsi dari rekaman kuliah tersebut.
[2] Ada sebuah Hadis yang mengatakan bahwa kitabullah, Quran, adalah  ashdaqal hadits (hadis yang paling benar).
[3] Terjemahan dari penulis.
[4] Ini merupakan terjemahan bebas Isa Bugis atas definisi yang termaktub dalam kamus Al-Munjid : nathaqa bil-maktubi fihi aw alqa-nazhra ‘alaihi.
………………………………………

KAJIAN WAHYU PERTAMA (4)
SAYA BUKAN PENYAIR!

Dengan  kenyataan bahwa kedatangan Jibril membawa wahyu pertama itu membuat Muhammad bingung, bukan berarti kita lantas bisa membenarkan anggapan bahwa Muhammad buta huruf, karena anggapan ini timbul dari penafsiran (harfiah) yang apriori dan tidak berwawasan. Padahal bisa saja, jawaban Muhammad atas perintah iqra dari Jibril yang membawa ‘spanduk’ bertulisan lima ayat Al-’Alaq itu justru menggambarkan alam pikiran Muhammad, yang tentunya  tidak luput  dari pengaruh trend (kecenderungan) atau arus  kebudayaan masyarakatnya.

Para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa seni  sastra di kalangan masyarakat Arab pada masa itu sudah mencapai puncaknya, terutama yang berupa syair (sajak, puisi). Dengan kata lain, di tengah masyarakat Arab pada waktu itu syair merupakan bentuk kesenian yang populer, sebagaimana film pada zaman sekarang. Otomatis, bila pada era perfilman  masyarakat menggandrungi  film dan para bintang film,  maka  pada  ‘era persyairan’  tentu saja syair dan para penyairnya  juga  laku keras di tengah masyarakat. Hal ini jelas terekam dalam Al-Qurãn, bahkan dalam Al-Qurãn ada surat yang bernama Asy-Syu’ara (para penyair), yaitu surat ke-26.

Dengan mengingatkan kenyataan demikian, penulis ingin mengajukan suatu asumsi (perkiraan, anggapan) sehubungan  dengan  jawaban Muhammad terhadap Jibril yang berbunyi  ma  ana biqãri’:
Pertama, pihak yang menerjemahkan kata iqra secara harfiah meng artikan jawaban tersebut sebagai pengakuan bahwa Muhammad buta huruf. Mereka ‘menguatkan’ anggapan tersebut dengan mengajukan dalil lain, yaitu istilah  an-nabiyul-ummiyyu,  antara lain  dalam surat Al-A’raf ayat 157. Tapi kata  Fuad  Hashem (hal.  63): Kata “ummiy” itu sebenarnya dapat  berarti “buta budaya hidup karena belum memperoleh kitab suci.” Selain itu, secara harfiah  “ummiy” juga bisa berarti “keibuan”  (maternal,  mo therly). Tentu saja Nabi Muhammad sebagai lelaki tidak mungkin disebut “Nabi yang bersifat keibuan”. Namun perlu diingat juga bahwa sifat keibuan merupakan lambang bagi perlindungan, kasih-sayang, kedamaian, pembimbingan, dan sebagainya.
Kedua, pihak yang mengartikan iqra sebagai  perintah untuk membaca situasi agaknya kurang memperhatikan  alasan-alasan  yang mendorong Muhammad ‘mengasingkan diri’ dari masyarakatnya, yang jelas dilakukannya karena ia sudah ‘membaca situasi’ yang demikian memuakkan. Jadi, Muhammad sudah demikian serius dan tekun membaca situasi sebelum disuruh. Perjalanan berdagangnya, yang membuatnya mondar-mandir antara Makkah Syria, tentu juga memberikan pengalaman yang tidak sedikit untuk bahan perenungan.

Ahmad Syafii Maarif juga menegaskan bahwa Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi rasul, bertahun-tahun lebih dulu terlibat  dalam pemikiran dan kontemplasi yang  mendalam  dan kadang-kadang sangat menegangkan dalam membaca masyarakat komersial kota Makkah yang zhalim itu. Menurutnya, ada tiga fenomena sosiologis-religius yang disimpulkannya dari  data sosial yang dibacanya selama bertahun-tahun itu.  Pertama, politeisme yang merajalela di mana-mana. Kedua, kesenjangan sosio-ekonomi yang parah antara yang punya dan tidak punya. Ke tiga,  tidak adanya rasa tanggungjawab terhadap nasib  manusia secara keseluruhan.[1]
Ada juga pihak yang mengatakan bahwa pembacaan situasi yang dimaksud adalah pembacaan dengan alat atau bantuan  wahyu.  Boleh jadi. Tapi bagaimana mungkin perintah  menggunakan alat datang sebelum alatnya disediakan? Dengan demikian agaknya masih terbuka kemungkinan untuk menemukan makna yang lain, yang mudah-mudahan merupakan makna yang jitu.

Jawaban Muhammad yang berbunyi ma  ana bi-qãri’,  bisa jadi merupakan gambaran dari jiwa Muhammad yang tidak terlepas dari kenyataan masyarakatnya yang secara  umum  menggandrungi syair dan penyair. Philip K. Hitti dalam bukunya  bahkan menyebutkan bahwa cinta orang (Arab) Badawi terhadap syair adalah satu-satunya harta kebudayaannya. Penyair bagi mereka berperan sebagai pandu, penasihat, ahli pidato, juru bicara, ahli sejarah, dan sarjana.[2]

Ketika  Jibril datang dengan membawa ‘spanduk’ berisi tulisan, mungkin Muhammad mengira bahwa yang  dibawa  Jibril itu  adalah sebuah syair. Karena itu, waktu  Jibril  menyuruh untuk membacanya, Muhammad menjawab ma  ana bi-qãri’. Dalam pengertian umum qãri’ adalah orang yang  membaca atau pembaca. Tapi dalam masyarakat Arab pada masa itu, mungkin artinya (yang konotatif) adalah pembaca syair, dalam arti deklamator (ahli baca  syair), atau penyair, dalam arti pengarang syair (yang bisa merangkap sebagai deklamator). Jadi, di  sini  penulis berasumsi  bahwa Muhammad salah paham terhadap  perintah  Jibril. Di satu pihak Jibril menyuruhnya membacakan dalam arti menda’wahkan wahyu yang dibawanya itu, di lain pihak Muhammad mengira bahwa Jibril menyuruhnya membacakan ‘syair’ yang tertulis dalam spanduk itu. Karena itulah ia menjawab ma ana biqãri’. Artinya: saya ini bukan penyair/pembaca syair.

Penulis  sadar  betul bahwa asumsi ini  harus  didukung pembuktian bahwa sebutan qãri pada masa itu ditujukan  kepada penyair  atau deklamator. Namun untuk sementara  penulis  bisa ajukan  data  bahwa (seperti kata Thabari yang dikutip  Fuad Hashem di atas) Muhammad setelah menerima wahyu pertama itu begitu  cemas kalau-kalau dirinya akan disebut  penyair  atau orang gila. Kecemasan  tersebut pada satu sisi menggambarkan bahwa Muhammad tahu betul tentang hobi masyarakatnya terhadap syair, dan pada sisi yang lain menggambarkan bahwa Muhammad  cukup tahu hal-ihwal penyair. Jelasnya, Muhammad tahu bahwa orang Arab pada masa itu menggandrungi para penyair yang  pada umumnya berakhlak jelek, dan syair-syair mereka pun penuh dengan ajakan pada kebatilan. Karena itulah berulang-ulang  ia mengatakan kepada Jibril bahwa ia bukan penyair atau  pembaca syair.

Dalil yang lain yang bisa diajukan adalah surat Yasin ayat 69: Kami (Allah) tidak mengajarkan sya’ir kepadanya (Muhammad), karena hal itu tidak layak baginya…
Selain itu, istilah qãri dikalangan masyarakat Arab hingga saat ini agaknya mempunyai pengertian tertentu, yaitu ditujukan  kepada pembaca Al-Qurãn, karena Al-Qurãn  mereka  anggap sebagai bacaan standar. Pada masa Jahiliyah, kira-kira, baca an standar mereka adalah syair. Bahkan istilah qãri ini ada kemungkinan justru lahir dari masyarakat yang gandrung  syair itu.

Keterangan footnote:
[1] Al-Qur’an, Realitas Sosial Dan Limbo Sejarah(Sebuah  Refleksi), hal. 103, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985.
[2] Dunia Arab, hal. 31, terjemahan Usuludin Hutagalung dan O.D.P. Sihom bing dari The Arabs/A Short History, karya Philip K. Hitti.
……………………………………..

AL-QALAM

Judul Al-Qalam ini diangkat untuk memberi wawasan kepada kita tentang isi yang terkandung pada ayat 4 surat Al-‘Alaq, yang maksudnya adalah “

Dia (Allah) yang mengajarkan Ilmu-Nya dengan perantaraan Al-Qalam

Ilmu menurut Allah dalam Al-Qur’an ialah Al-bayaan yaitu rangkaian keterangan tentang sesuatu yang tergantung kepada kepastian Allah, sedangkan Ilmu yang kita kenal sebagai Ilmu Pengetahuan dianggap sebagai karya manusia, tidak ada hubungan dengan Allah sebagai Penciptanya.

Sejarah Ilmu Pengetahuan manusia berawal katanya dari hasil pengamatan, untuk memulai satu kegiatan pengamatan diperlukan gagasan, pertanyaan bagi manusia mana duluan antara gagasan dan pengamatan yang menghasilkan Ilmu. Kata mereka berbicara antara gagasan dan Ilmu sama saja bicara mana yang lahir lebih dahulu antara telur dengan ayam.

Tapi teka-teki tentang mana duluan antara ayam dan telur ini sudah terjawab oleh para ilmuan Jerman, dimana dalam satu penelitian di tahun 2010 ini, ditemukan bahwa dalam tubuh ayam ada kemampuan untuk membuat zat-zat kulit telur, sedangkan pada kulit telur tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan anak ayam, telur tercipta dalam tubuh ayam sekaligus bibit untuk anak ayam, sehingga kesimpulannya Ayam ada lebih dahulu dari pada telur. Di abad ke tujuh sudah dijelaskan bahwa makhluk, Allah ciptakan berpasang-pasangan, dari situlah muncul keturunannya. Termasuk ayam, sepasang jantan dan betina dari berbagai ras, dan bukan berasal dari bebek sebagai nenek moyangnya.

Sekalipun secara biologis para ahli sudah menemukan jawabannya, namun dalam kebudayaan masih belum ada pengakuan dari mana duluan datangnya gagasan atau ilmu lebih dahulu, mereka mencoba bertahan dalam kebohongan dirinya dan berlindung pada filsafat. Padahal semuanya itu adalah hasil nyolong ilmu Allah dari Nabi-Nabi terdahulu.

Pada awalnya Ilmu Filsafat dianggap sebagai jalan setapak untuk kemudian melahirkan Ilmu sebagai jalan Tol peradaban. Filsahat hanya memberi ruang lingkup untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apabila pertanyaan sudah dapat dijawab dengan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan, maka objek persoalan berpindah dari ruang Filsafat kedalam ruang lingkup Ilmu Pengetahuan, yang ditetapkan dengan catatan, apabila dikemudian hari ternyata rumusan keilmuan ini dapat dibantah dengan argumentasi yang lebih masuk akal, maka yang terbarulah yang harus dijadikan pegangan dalam bidang keilmuan.

Ilmu menurut mereka harus memilki 4 unsur untuk bisa dbedakan dengan dongeng, yaitu Ilmu itu harus memilki Methode dimana cara berpikirnya harus methodis, Ilmu juga harus memilki sistematika sehingga uraiannya dapat dikatakan Sistematis, Ilmu juga harus mempunya objek yang dapat diselidiki ulang oleh siapa saja yang ingin mendalami Ilmu itu sehingga Ilmu itu harus Analitis, dan yang terakhir Ilmu itu antara keterangan dan objek harus sama dan sebangun sehingga Ilmu itu dinyatakan objektif.

Selama ini oleh kebanyakan Umat Islam, mereka membagi ada Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Agama yang khusus membicarakan tentang kehidupan sesudah mati. Pembagian kekuasaan ini dapat kita lihat dengan adanya Pendidikan Pesantren dan Pendidikan Umum. Akan tetapi perkembangan terakhir ada Pesantren Plus, yang mulai kemasukan Ilmu Pengetahuan Umum.

Inilah tantangan yang kita hadapi apabila kita berani mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah ILMU, maka pertanyaannya adalah apakah didalam Al-Qur’an itu ada 4 unsur Ilmu yang telah mereka tetapkan. Kemudian dengan bahasa yang seakan-akan santun mereka mengatakan Al-Qur’an itu Wahyu yang tidak mungkin bisa disentuh dengan akal manusia, Ajaran Allah itu banar, dan karena sudah benar, sudahlah jangan dikorek-korek lagi, yang penting Al-Qur’an itu adalah Wahyu yang sudah pasti benarnya itu saja titik. Benar apanya, salah apanya mereka sambil membela diri mengatakan : Isi Al-Qur’an itu ada yang Muhkamat dan ada Yang Mutasyabihat, ada yang terang jelas, ada juga yang remang-remang, hanya Allah yang tahu.

Jika saudara tidak ingin dibohongi oleh kebodohan, marilah kita bahas lebih jauh tentang Qalam Allah sebagai Ilmu dengan mencari jawaban dari Allah dalam Al-Qur’an sebagai sumber kebenaran.
Qalam Allah itu mencakup semua ajaran Allah dimulai dari ajaran kepada Nabi Adam (Al-asmaa) sampai kepada Nabi Ibrahim diteruskan kepada Nabi Musa (Taurat) Nabi Daud (Zabur) Nabi Isa (Injil) dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad yaitu Al-Qur’an, kesmuanya itu dikatan Qalam Allah.

Objek yang dibicarakan oleh Qalam Allah sebagai ILMU yang sebenarnya ada tiga, yaitu Qalam Allah atau Al-Qur’an membicarakan Pasti Alam sebagai ciptaan Allah yang akan dimatikan atau dihancurkan apabila waktunya telah habis untuk dibangun kembali menjadi kehidupan akhirat.

Yang kedua Al-Qur’an membicarakan tentang peradaban/kebudayaan manusia dimulai dari Adam sampai dengan qiyamat nanti, dan akan selalu berjalan pada dua prinsip, NUR lawan Dzulumat, Hak lawan Bathil.

Yang ketiga Al-Qalam atau Ilmu Allah yaitu Al-Qur’an itu membicarakan tentang dirinya sendiri yang mempunya 4 nilai Ilmu yang sebenarnya.

Methodologi Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia tentang pandangan Nur menurut Sunah Rasul lawan Dzulumat menurut Sunnah Syayatin, inilah pilihan Ilmu yang di-izinkan Allah, dengan hasil Nur menurut Sunnah Rasul hasilnya hasanah di dunia dan di akhirat kelak, pilihan Dzulumat akan menghantar manusia kepada kehidupan materialistis yang membawa kepada kehidupan jahannam dan kebangkitan nanti kedalam laknatullah ini juga adalah izin Allah atas permintaan Syaithan.

Sistematika Al-Qur’an adalah jawaban yang selama ini ada sebagian orang yang mengatakan bahwa keterangan Al-Qur’an tidak sistematik, padahal Allah meletakkan Al-Fatihah sebagai Introduction sebagai Pandangan Umum, kemudian surat-surat panjang sebagai perinciannya atau Bab demi Bab, dan surat-sura pendek adalah kesimpulan, yang kini dicontek oleh manusia dan dikatakan bahwa Al-Qur’an non sistematik.

Analitic Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa kehidupan social manusia yang tidak mau mengatur hidupnya menurut ajaran Allah, seperti laba-laba yang membuat sarang, pagi hari dibuat, sore sudah jebol, rapuh, nyamuk nyangkut, lewat kerbau hancurlah sarang laba-laba itu, orang kecil mencuri dijerat hukuma berat, orang besar korupsi lolos.

Nilai ilmu yang terakhir adalah objektivitas keterangan Ilmu dalam Al-Qur'an adalah tidak diragukan lagi dan berlaku pasti. menurut Allah dalam Al-Qur'an kehidupan yang berpangkal dari hasil nyolong Ilmu dari Al-Qur'an kemudian dinyatakan sebagai penemuan dia, tanpa mengikuti Uswah Nabi, hasilnya adalah Bathil alias batal yaitu tidak pernah menghasilkan sesuai dengan yang mereka cita-citakan. Enam puluh empat tahun Indonesia Merdeka, Jurang antara yang miskin dan yang kaya semakin terbuka karena kita menganut paham persaingan bebas, sehingga siapa kuat diapun tujuh turunan akan kuat dalam menguasai ekonomi Bangsa. Beda halnya dengan konsepsi Ilmu dalam Al-Qur'an yang dikatakan oleh Allah "Kal-bunyan" atau hadits Nabi "Kal jasadil wahid" kehidupan sosial masyarakat Mukmin itu bagaikan "satu tubuh", yang apabila satu bagian merasa sakit maka semua akan merasa sakit. Inilah kehidupan yang Haq, objektiv sesuai dengan hakekat penciptaan manusia itu sendiri.

Masih banyak yang akan kita bahas tentang ILMU Allah ini, hanya untuk perkenalan, Allah mengajarkan pada surat Qalam,

Nun (lambang huruf akhir dari Al-Qur'an)

Wal-Qalami wamaa yashturun
Demi Qalam Allah yang (berisi konsep hidup Ilmiyah) menjadi jawaban atas semua konsep hidup karya manusia.

Maa anta bini’mati Rabbika bimajnun.
Anda (Muhammad dan orang-orang yang mengikuti anda) dengan Ilmu Allah ini bukan omongan orang sakit ingatan.

Wa inna laka la-ajran gaira mamnun
Sesungguhnya anda dengan da'wah Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul ini akan mendapatkan imbalan yang tidak putus-putusnya

Wa-innaka la'alaa khuluqin aziim
Seterusnya anda (dengan Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul-Nya ini) akan mengjudkan satu kehidupan agung.

Fasatubshiru wa yubsiruun
Kelak nanti anda akan menyaksikan dan merekapun akan menyaksikan

Biayyikumul maftuun
siapa sebenarnya yang sakit konsepnya

Ini adalah jawaban Allah, bahwa betapapun mereka dengan para ahli sekalipun tidak akan bisa mencapai kehidupan adil makmur bagi seluruh rakyat ini, jika mereka tidak mengindahkan Ilmu Allah yang bernama Al-Qur'an.

Qalam Allah adalah rangkaian keterangan dari Allah terhadap Pasti Alam dan peradaban/kebudayaan manusia disebut juga Tanziilun minrabbil 'aalamiin. Sebaliknya Ilmu pengetahuan hasil penagmatan manusia itu adalah tanziilun min 'aalamin atau turunan ilmu dari hasil melihat alam tanpa ada Allah dalam pandangan mereka.
…………………………………………..

MENEGAKKAN SISTEMATIK NUZULUL SURAT

Menjadi pertanyaan mendasar, apakah study Al-Qur'an itu dimulai dengan membaca dari Al-Fatihah kemudian Al-Baqarah, Al-Imran dan seterusnya atau dimulai dari Qul-Audzu-birabbinnas, qul-Audzu birabbil-falaq, Qul-Huwallahu-Ahad dan seterusnya ?

Apakah Rasulullah dan para sahabat beliau, pada awal dakwah di Mekah, membaca Al-Qur'an seperti yang kita baca sekarang ini, yaitu dari Al-Fatihah kemudian Al-Baqarah? Ternyata tidak, karena Al-Baqarah belum diturunkan oleh Allah ketika di Mekah, jika demikian bagaimana cara Nabi Muhammad Studi Al-Qur'an? Asbabun-Nuzul ternyata hanya sedikit membantu tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan tantangan yang dihadapi Nabi, sehingga situasi seperti itu tidak mungkin akan terjadi sekarang ini persis seperti yang dialami Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Yang masih tertinggal dalam perbendaharaan para ulama adalah susunan turunnya surat-surat, walaupun memang ada sedikit perbedaan antara beberapa surat tapi memadailah jika hal itu kita jadikan sebagai acuan untuk melakukan napak tilas Studi Rasulullah berdasarkan sistematik Nuzul Surat.

Al-Fatihah dianggap surat pertama yang lengkap yang turun kepada Rasulullah, surat Al-'Alaq memang turun pertama kali tapi tidak lengkap hanya 5 ayat, akan tetapi kita letakkan Surat Al-'alaq sebagai yang pertama dalam studi Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul-Nya. Ada 5 surat yang turun diawal dakwah tetapi mempu menggerakkan Pendukung studi Al-Qur'an menjadi sibuk berbuat setiap malam melakukan perintah Rattil/Study Al-Qur'an.
Surat-surat itu adalah :

1. Surat Al-'Alaq
2. Surat Al-Qalam
3. Surat Al-Muzzammil
4. Surat Al-Muddatsir
5. Surat Al-Fatihah.

Ini adalah modal awal dalam rangka memahami isi Al-Qur'an secara keseluruhan.
Menjadi pertanyaan bagi kita umat Islam, sudahkah anda bisa membaca 5 surat tersebut dalam Shalat? Jika belum, mulailah sebelum ajal datang menjemput.
Jika ingin study Al-Qur'an yang benar, maka lakukanlah napak tilas study Rasulullah dengan membaca Al-Qur'an berdasarkan Sistematik Nuzul Surat.
………………………………………..

LATAR BELAKANG TURUNNYA AL-QUR'AN

Muhammad Rasulullah adalah Penguasa dua qurun, dimana dalam sabdanya beliau mengatakan : khairu qarnin qarnii wa qarnun min ba'dii" (HR. Bukhari Muslim) "Seindah-indah qurun adalah qurun-ku dan satu qurun lagi menjelang akhir zaman."

Sebelum Rasulullah diangkat dan berdakwah di abad 7, maka situasi dunia pada saat itu sudah berada dalam keadaan ditepi jurang neraka. Dua kekuatan besar saling berhadapan untuk menguasai dan merebut supermasi kekuasaan dunia antara Romawi Barat dengan Parsia Baru.

Romawi Barat memperjuangkan sistem hidup Individualisme yaitu liberalisme dimana setiap orang bebas mengatur dirinya sendiri, bebas melakukan apa saja untuk hidupnya, tetapi harus tunduk kepada kekuasaan tunggal yaitu Kerajaan yang berkuasa pada saat itu. Raja adalah undang-undang.

Apa kata Raja berlaku sebagai Undang-undang. Pandangan tentang sistem hidup Individualisme ini adalah hasil pengamatan manusia terhadap alam jagad raya, dilihatnya bahwa semua benda-benda angkasa beredar sendiri-sendiri, tidak ada tabrakan antara bulan dengan bumi atau matahari, maka disimpulkanlah bahwa hidup harus menurut hukum alam basar (macro atomisme). Namun semua yang bergerak itu harus tunduk pada matahari (sebagai panguasa tertinggi) Falsafah tentang Individualisme ini melahirkan satu sistem sosial, seseorang tidak perduli dengan orang lainnya dalam masyarakat. Agama adalah hak individu seseorang, tidak perlu ada nasehat dari orang lain, mau shalat kek, mau mabuk kek itu hak saya ....katanya.

Lawan dari Romawi Barat adalah Persia Baru dengan pandangan hidup yang kebalikan dari Macro atomisme yaitu Micro atomisme, yaitu Kolektivisme. Falsafah tentang Kolektivisme ini adalah hasil pengamatan terhadap tubuh manusia (jasadiah), dimana disimpulkan bahwa untuk mengatur sistem hidup yang benar harus mencontoh tubuh manusia. Menurut pengamatan mereka, bahwa sekalipun tubuh manusia itu terdiri dari berbagai organ tubuh seperti tangan, kaki, mata, mulut hidung, kuping dan lain sebagainya, namun dalam kenyataannya semua organ tubuh itu tunduk pada organ yang menentukan yaitu otak sebagai pusat pemerintahan.

Berdasar pengamatan itulah sistem hidup harus ditegakkan, tidak ada demokrasi, semua harus menurut klas yang berkuasa. Agama tidak ada tempat dalam sistem hidup kolektivisme.

Dua kekuatan raksasa itu sudah siap saling menghancurkan, manusia sudah tidak mempunyai pegangan hidup yang pasti, Kitab Taurat dan Injil yang merupakan pegangan agama Yahudi dan Nashrani sudah banyak yang dirubah oleh manusia saat itu. Hukum Allah sudah tidak berlaku lagi karena manusia cenderung memutar balikkan hukum Allah, jika ada yang mencuri dikalangan rakyat jelata hukumnya sangat berat, tapi jika yang mencuri itu adalah kaum bangsawan maka dibebaskan. Dua kekuasan raksasa itu sudah berhadapan untuk berperang membela kepentingan ekonomi mereka dengan sekutu-sekutunya.

Pada saat itulah Rasulullah diangkat dan Al-Qur'an diturunkan sebagai obat untuk mengobati peradaban yang sedang sakit. Dan dengan tegas dalam surat Rum Allah berfirman, bahwa yang pertama sekali dalam perang itu Romawi akan kalah, kemudian Romawi akan menang, beberapa tahun kemudian Islam akan menang. Firman Allah itu terbukti dan akhirnya Muhammad Rasululah, seorang anak yatim piatu, dengan Al-Qur'an tampil memukau dunia dengan memenangkan sistem hidup Kaljasadilwahid.
……………………………………………

REFORMASI PANDANGAN HIDUP
WAHYU PERTAMA ADALAH REFORMASI PANDANGAN HIDUP

Lima ayat surat Al-'Alaq sebagai wahyu yang pertama mengandung pendidikan dan perubahan pandangan hidup manusia bagi yang mau.Pada wahyu pertama ada 2 perintah IQRA', yang pertama berisi 2 ayat dan yang kedua 3 ayat.

Yang pertama :

Sudah menjadi kebiasaan manusia jika melihat sesuatu, maka si manusia itu bertindak sebagai subjek dan alam sebagai objek. Akibatnya kesimpulan yang dibuatpun bermacam-macam, maka pandangan manusia itu dianggap relatif, tergantung siapa yang bicara.
"Bacalah (Al-Qur'an) dengan perintah Tuhanmu yang telah mencipta segala". Ini adalah konsepsi Ilmu secara macro, dimana Allah belum menyebut objek ciptaan-Nya. Mampukah kita melihat semua yang terlihat maupun yang tidak terlihat sebagai ciptaan Allah dan bukan berdiri sendiri ? Subhaanallah! Semesta ini bergerak menurut Pencipta Yang Maha Agung.
"Dia Yang telah mencipta manusia dari segumpal darah"  Ini adalah pandangan secara micro, baik yang macro maupun yang micro semuanya adalah ciptaan Allah. Jadi Perintah membaca yang pertama adalah membaca (Al-Qur'an) tentang Pasti Alam, jangan bersudut Subjektif nanti kesimpulannya ngaur.

Yang kedua :

"Perintah membaca yang kedua adalah membaca terhadap Peradaban/Kebudayaan manusia, dimana hanya Peradaban/Kebudayaan yang diajarkan Allah sajalah yang memiliki nilai kemuliaan.
Dia Allah mengajarkan manusia dengan perantaraan qalam-Nya, dan segala sesuatu yang manusia ketahui adalah hasil ajaran Tuhan malalui akalnya".
Dari manakah datangnya pengertian itu? Seseorang dengan akalnya memperhatikan sesuatu, maka lama-kelamaan pengalaman mengajarkan kepadanya sesuatu, maka mereka mengatakan Pengalaman adalah Guru yang paling baik. Siapa yang menciptakan pengalaman manusia lewat akalnya? Disini Allah mereformasikan dalam diri Rasul-Nya dan kita umat manusia, bahwa pengalaman itu adalah pelajaran dan bukan guru, yang Mengajar manusia adalah Allah, Tuhan manusia, suka atau tidak sukanya manusia.

Kesimpulan :
Seharusnya kita mereformasi diri kita, agar selalu berpandangan dengan Ajaran Allah (Al-Qur'an) baik terhadap pasti alam maupun budaya manusia (pasti alam ungkapan budaya).
5 Ayat surat Al-'Alaq adalah konsep reformasi diri manusia dari gelap menuju terang.
………………………………………

Dalam catatan sejarah, pada bulan Ramadhan, datanglah Malaikat Jibril kepada Muhammad di Gua Hira kemudian memerintahkan Muhammad dengan kata-kata : I Q R A'
yang berarti "Bacalah". Muhammad pada waktu itu mejawab "Ma anaa biqaari" yang artinya " Saya tidak bisa membaca"

Malaikat Jibril kemudian memeluk Muhammad, yang dalam catatan sejarah dikatakan sampai berkeringat, kemudian dilepas, dan diulangi perintah membaca sampai 3 kali tetapi Muhammad tetap menjawab : Bahwa beliau tidak bisa membaca, maka 3 kali pula Jibril memeluk Muhammad sampai berkeringat.

Apa yang salah disini, rupanya jawaban "saya tidak bisa membaca" itu adalah bersifat Subjektif. Setelah Muhammad mengikuti bacaan surat 'Alaq 5 ayat, maka Jibril sebelum berpisah mengatakan "Anda adalah Rasulullah", maka mulai saat itu Muhammad adalah Rasul Allah yang memberi contoh bagaimana berbicara dan berbuat sebagai seorang Muslim. Apa perubahan yang terjadi pada diri Muhammad ? Beliau tidak lagi berbicara kecuali mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah, dan kalau tidak/belum ada perintah maka beliau diam.

Sebagai seorang Muslim, maka cara yang paling baik adalah jika membaca Al-Qur'an hendaknya Menurut Sunnah/Contoh Rasul, dan tidak semaunya kita sendiri. Yang namanya mengikuti tentunya bisa saja salah, tetapi kita sudah mempunyai prinsip, bahwa : Setiap persoalan itu harus dijawab dengan Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul-Nya, dan bukan bersifat Subjektif.

Kita hanya mempunyai ciri khas diri sendiri dalam hal-hal tehnis, tetapi kita berusaha mengikuti prinsip-prinsip hidup dari Nabi Muhammad S.A.W. baik dalam berbicara, berda'wah maupun berbuat.

Oleh karena itu maka, mau makan lihatlah Rasul bagaimana prinsip makan yang diajarkan, mau marah, lihat Rasul kalau marah beliau diam, mau bisnis, ingat jangan menipu karena akan dimintakan pertanggunan jawabnya kelak, walaupun hanya satu biji kurma.

Semoga kita dan keluarga, selalu mengikuti Ajaran Allah yaitu Al-Qur'an menurut Sunnah RasulNya, yang akan membimbing kita keluar dari kesesatan menuju kebanaran. Amiin.
…………………………………………………….