ASAL MULA KATA SANTRI, KYAI, PESANTREN, SUNAN, WALI DAN GURU

Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti [n] (1) orang yg mendalami agama Islam; (2) orang yg beribadat dg sungguh-sungguh; orang yg saleh. Akan tetapi saya punya definisi berbeda arti dari santri tersebut menurut saya, Makna Santri adalah bahasa serapan dari bahasa inggris yang berasal dari dua suku kata yaitu SUN dan THREE yang artinya tiga matahari. matahari adalah titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yg mendatangkan terang dan panas pd bumi pd siang hari. seperti kita ketahui matahari adalah sumber energi tanpa batas, matahari pula sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan secara ikhlas oleh matahari. namun maksud tiga matahari dalam kata SUNTHREE adalah tiga keharusan yang dipunyai oleh seorang santri yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Semua ilmu tentang Iman, Islam dan Ihsan dipelajari dipesantren menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan islam. serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.

Namun para ilmuan tidak sependapat dan saling berbeda tentang pengetian santri. Ada yang menyebut, santri diambil dari bahasa ‘tamil’ yang berarti ‘guru mengaji’, ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india ‘shastri’ yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci’. Selain itu, pendapat lainya meyakini bahwa kata santri berasal dari kata ‘Cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedang versi yang lainya menganggap kata ‘santri’ sebagai gabungan antara kata ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong). Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Dalam praktik bahasa sehari-hari, istilah ‘santri’ pun memiliki devariasi yang banyak. Artinya, pengertian atau penyebutan kata santri masih suka-suka alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh. Santri apa, yang mana dan bagaimana?

Ada santri profesi, ada santri kultur. ‘Santri Profesi’ adalah mereka yang menempuh pendidikan atau setidaknya memiliki hubungan darah dengan pesantren. Sedangkan ‘Santri Kultur’ adalah gelar santri yang disandangkan berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, bisa saja orang yang sudah mondok di pesantren tidak disebut santri, karena prilakunya buruk. Dan sebaliknya, orang yang tidak pernah mondok di pesantren bias disebut santri karena prilakunya yang baik. Dari segi metode dan materi pendidikan, kata ‘santri’ pun dapat dibagi menjadi dua. Ada ‘Santri Modern’ dan ada ’Santri Tradisional’ – Seperti juga ada pondok modern dan ada juga pondok tradisional. Sedang dari segi tempat belajarnya, ada istilah ‘santri kalong’ dan ‘santri tetap’. Santri kalong adalah orang yang berada di sekitar pesantren yang ingin menumpang belajar di pondok pada waktu- waktu tertentu.

Walapun ketika kembali kemasyarakat santri tidak semuanya berprofesi jadi kyai maupun ustadz, ada yang berprofesi sebagai karyawan, pengusaha, pedagang dan banyak lainya, namun diharapkan santri tetap menjadi santri walaupun hanya berprofesi sebagai pedagang, jadilah pedagang yang benar ala santri. Saya punya satu lagi definisi kata santri yaitu serapan dari bahasa jawa / melayu yang bersal dari kata ngantri, memang tak dapat dipungkiri bahwa dikehidupan sehari-harinya seorang santri tidak luput dari ngantri entah itu mandi, makan, BAB, nyuci dan lain sebagainya Begitulah kira-kira arti santri, mungkin diantara pembaca ada yang ingin memberikan definisi lain dari santri.

Menurut guru saya, asal kata santri itu dari gabungan kata san dan tri, san dari kata insan= manusia, sedang tri=tiga, Menurut istilah santri adalah manusia yang melaksanakan 3 hal (Islam, Iman dan Ihsan). Menilik dari istilah ini, maka manusia yang dikatakan santri merupakan orang yang sudah sempurna atau kaaffah. Sedang dalam kehidupan sehari-hari kata santri dipergunakan sebagai istilah orang yang belajar melaksanakan 3 hal tersebut diatas, maka ini sebenarnya tidak tepat, yang tepat ya belajar menjadi santri. Mohon maaf bila keliru.



KYAI

Kata, Kyai atau Kiyai, disinyalir sudah lama digunakan, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Sejak kebudayaan china menyebar di Indonesia. Istilah ini dibentuk dari dua kata, yaitu “Ki” dan “Yai”. “Ki” adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang sudah tua. Sedang “Yai” adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali. “Yai” artinya besar, luas, atau agung. Kata ini masih digunakan di thailand, burma, kamboja. Dan jawa kuno. Maka, jika digabung, Kiyai berarti seorang laki-laki yang dihormati. Dalam segala kapasitas. Bukan hanya bidang “agama” saja.

Ini memang sebutan bagi pemimpin atau tetua, di masyarakat lampau. Terutama jawa. Meskipun oleh Belanda, kemudian disebar ke daerah lain. Jika di Sunda, dikenal kata “Ajengan” untuk menyebut seorang yang dihormati. Di Aceh, ada “Teungku”, di Sumatera Barat “Buya” di Sulawesi Selatan, ada “Tofanrita”, di madura “Bendara, Bindara, atau Nun” dan di Nusatenggara dikenal sebutan “Tuan Guru”.

Awalnya, di Jawa dikenal sebutkan untuk seseorang yang dihormati dengan “Panembahan”, Ki ageng juga ki gede. Yang sifatnya spiritual-politis. Lalu penyebutan, Kiyai diberlakukan kepada benda dan fenomena yang spiritualistik, mistik dan dihormati secara cultural. Seperti pusaka,simbol-simbol budaya, hewan-hewan yang disucikan atau makhluk ghaib yang mendiami sebuah tempat yang disakralkan.

Ketika masa awal kolonial, sebutan ini dipergunakan oleh belanda utk disematkan kepada pejabat-pejabat politiknya dan disebar di daerah lain. Maka di kalimantan selatan di kenal istilah Kiyai, merupakan pangkat bagi pegawai negeri setingkat wedana, hingga demang. Bahkan, di sumatera Barat, juga ada gelar “Kiyai” diperuntukkan bagi keturunan tionghoa yg sudah tua, dihormati. Biasanya berjenggot panjang.

Dari masa kolonial itulah kemudian, penggunaan kata kiyai, merambah ranah lain. Lalu diperuntukkan bagi seorang yang pandai ilmu “agama”. Padahal, semasa walisongo, dan awal penyebaran islam di jawa, ada sebuah istilah utk menyebut seorang yg kompeten di ilmu agama, yaitu sunan. Sunan adalah kependekan dari susuhunan. Ada yang menafsir, kata ini maksudnya adalah susunan, yang dimaksud adalah susunan jari sepuluh. Yaitu merujuk pada sikap tangan ketika menghadap seseorang yang dihormati pada posisi di depan wajah, atau dada. Kata lainnya “menyembah”.

Versi lain juga menyebut, kata susuhunan, berakar dari kata “Susuh” yaitu sarang burung. Perlambang rumah kosmologis yang tinggi. Sarang burung diidentikkan dengan rumah kasih sayang yang posisinya di ketinggian, senada dengan gambaran kosmologi jawa tentang swargaloka. Pendapat lain lagi, susuhunan yang kemudian disingkat menjadi sunan itu adalah hasil bias fonem dari kata suwun, sinuwun, sinuwunan. Suwun itu minta, sinuwun itu yang dimintai, sinuwunan adalah permintaan. lalu beberapa suku kata lebur hingga berubah menjadi susuhunan. Kata sunan ini menjadi predikat, bagi seorang yg dihormati dengan kapasitas keilmuan Islamnya. Populer bersamaan dengan diserapnya kata wali. Semasa kolonial-lah, kemudian kata sunan menjadi “atasan” terhadap sebuah kata yang dialih sematkan dari benda/fenomena ke manusia, Kiyai.

Sejak saat itu, Kiyai populer sebagai predikat subordinat dari sunan & wali, utk gelar bagi seorang laki-laki yg dihormati karena ilmu agama. Gelar ini bersanding dengan julukan pusaka seperti keris, tombak, dan juga hewan-hewan tertentu, yang masih dipakai di keraton jawa. Di kalangan betawi, yang tadinya populer menyebut seorang ahli agama sebagai “guru”, akhirnya ikut ketularan. Ada Guru Mughni di kuningan, Guru Marzuki di jatinegara, Guru Udin di Kalibata Pulo & Guru Amin di Kalibata. penyebutan ahli agama di betawi. Lantas di kemudian hari, kalangan ulama betawipun turut serta menggunakan kata Kiyai sebagai gelar. Buya Hamka pernah mengemukakan bahwa pada tahun 1960-an, gelar guru masih dipakai di betawi, hingga orde baru akhirnya kata kiyai dipakai.

Barangkali, gelar Kiyai ini memang sudah terlanjur dinikmati, hingga riwayat etimologinya pun dilupakan. Muncul paradoks dimana-mana. Maka ketika sampeyan ke Yogya untuk menghadiri acara sekatenan, disana ada gamelan Kiyai sekati. Benda bukan manusia. Juga jgn kaget dengan pusaka jaka tingkir yaitu tombak kiyai plered, serta dgn Bendera keramat keraton yogya yg bernama Kiyai tunggul wulung. Di keraton solo, ada kerbau yang spesial, bernama Kiyai Slamet, keturunan kerbau bule milik Sultan Agung Hanyakrakusumo.

Dari penelusuran pustaka dan dengar sana-sini, inilah sekelumit etimologi kata kiyai berikut pemakaiannya. Bukan untuk mendesakralisasi peran “penghulu agama” di pesantren dan lainnya tapi hanya membedah tafsir asal-usul kata. Setidaknya, ketika berbahasa dan mengenakan kata pada ujaran atau tulisan, telah mengerti riwayatnya. Bahwa Islam itu nilai yang semestinya tidak didekonstruksi lewat label-label yang justru tidak selalu senada dengan irama nilainya.

Misteri Jejak Wali

Kebanyakan orang Islam percaya, kata WALI berasal dari kata Arab Walīyu yang artinya pelindung atau kepercayaan. Walīyu ‘llāh artinya pelindung Allah atau kepercayaan Allah. Benarkah Wali adalah Walīyu ‘llāh?

Di Nusantara ada banyak Kiai. Apabila WALI adalah Walīyu ‘llāh, maka semua umat Islam khususnya semua Kiai, terutama yang masyhur pasti disebut WALI. Namun, hal demikian tidak terjadi. Di Nusantara, di antara banyak Walīyu ‘llāh hanya ada sembilan orang Wali (Wali Songo). Itulah bukti bahwa WALI bukan Walīyu ‘llāh.

Ketika Raden Patah, Sultan Demak mengutus Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat untuk memanggilnya menghadap ke Demak, Syek Siti Jenar menolaknya mentah-mentah. Tindakan demikian adalah bukti dia menyangkal kedaulatan kesultanan Demak dan kepemimpinan Raden Patah.

Atas pembangkangannya, alih-alih berang lalu mengirim pasukan, Sultan Demak justru mengutus lima orang Wali yang diusulkan oleh Sunan Gresik yaitu Sunan Bonang,  Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus dan Sunan Geseng untuk mengunjungi Syekh Siti Jenar di desa Krendhasawa, Lemah Abang. Kekuatan apakah di belakang Syekh Siti Jenar yang membuat Sultan Demak gentar dan tidak berani gegabah?

Di desa Krendhasawa Lemah Abang, konon, setelah melalui perdebatan yang panjang, Wali Songo yang diwakili oleh lima orang Wali pun menjatuhkan hukuman mati dengan minum tirta marta (air kehidupan). Syek Siti Jenar menerima keputusan itu dengan rela dan menjalani hukumannya dengan ikhlas.

Ki Ageng Pengging penguasa daerah Pengging adalah murid Syek Siti Jenar. Setelah Syek Siti Jenar wafat, ketika Raden Patah Sultan Demak mengutus Patih Wanapala untuk memanggilnya menghadap ke Demak, sama seperti gurunya, Ki Ageng Pengging pun menolak panggilannya mentah-mentah. Itulah bukti dia pun menyangkal kedaulatan kesultanan Demak apalagi menghormati Raden Patah sebagai penguasanya.

Alih-alih mengirim pasukan, Raden Patah justru mengutus Sunan Kudus. Setiba di Pengging, Sunan Kudus pun menjatuhinya hukuman mati dengan minum tirta marta. Sama seperti gurunya, Ki Ageng Pengging pun menerima keputusan dengan rela dan menjalani hukuman matinya dengan ikhlas. Dia minum air kehidupan. Mati.

Kenapa Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging yang menyangkal kedaulatan Kesultanan Demak dan mengabaikan Sultan Demak dengan gagah perkasa justru menaati Wali Songo tanpa tedeng aling-aling?

Kerabatku sekalian, kata mandarin Wèi (lafal: wèi) artinya memangku. Lǐ (lafal: lǐ) artinya kesusilaan. Wèi lǐ 為禮 artinya pemangku kesusilaan adalah sebuah jabatan dari kekaisaran Tiongkok di perantauan yang bertugas untuk mengurusi orang-orang Tionghoa di perantauan. Wèi lǐ berkewajiban untuk mengajarkan dan berkuasa untuk menegakkan kesusilaan (ajaran dan tradisi serta peraturan). Wèilǐ adalah GURU sekaligus HAKIM.

Kenapa Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging yang berani menyangkal kedaulatan Kesultanan Demak dan menolak perintah Sultan Demak justru taat sampai mati kepada Wali Songo?

Karena Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging adalah orang Tionghoa perantauan. Orang Tionghoa perantauan di pulau Jawa pada zaman itu hanya mengakui kedaulatan kekaisaran Tiongkok dan kekaisaran Majapahit. Itu sebabnya mereka hanya takluk kepada pejabat penguasa Majapahit dan pejabat penguasa kekaisaran Tiongkok di pulau Jawa yaitu Wali Songo.

Kenapa Sultan Demak gentar menghadapi Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging yang taat sampai mati kepada Wali Songo yang tidak punya pasukan? Karena Raden Patah juga seorang Tionghoa perantauan. Tindakannya mendirikan Kesultanan Demak melanggar kesusilaan. Tindakannya berlagak penguasa melanggar kesusilaan. Dia takut kepada kekaisaran Tiongkok, bukan gentar kepada Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging.

Hukuman mati dengan minum racun bukan tradisi Nusantara juga bukan tradisi Arab namun tradisi Tiongkok kuno. Hukuman demikian bukan tradisi rakyat jelata namun tradisi para bangsawan dan pejabat negara serta orang-orang besar.

Syek Siti Jenar mengajarkan, kehidupan manusia di dunia adalah kematian dan kematian manusia adalah awal dari kehidupan sejati dan abadi. Itu sebabnya racun kematian disebut air kehidupan (tirta marta).

Kematian Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging yang dijalani dengan ikhlas oleh keduanya diterima dengan jiwa besar oleh para pengikutnya menjdai bukti lain bahwa Wali adalah jabatan  dari kekaisaran Tiongkok, bukan gelar dari Alquran.

PESANTREN

Kata mandarin bái (lafal: pái) artinya putih. Shān (lafal; shān) artinya gunung. Meskipun secara hurufiah, Báishān artinya gunung putih namun itu adalah istilah yang digunakan untuk menyebut golongan atau orang SUFI. Dengan kata lain, Báishān artinya SUFI.  Kata rén (lafal: rén)  artinya orang. Báishānren 白山 (lafal: páishānren) artinya orang Sufi. Seiring berlalunya waktu, Báishānren yang dilafalkan Páishānren pun menjadi PESANTREN.

Kerabatku sekalian, Pesantren sebagai lembaga pendidikan baru berdiri setelah Indonesia merdeka. Sebelum itu, Pesantren hanya kumpulan páishānren (orang sufi) belaka. Páishānren mengakui kedaulatan kekaisaran Tiongkok dan takluk kepada pejabat penguasa Tiongkok yaitu Wali. Karena jumlahnya sembilan orang maka disebut Wali Songo.

Misteri Jejak Sunan

Ketika ditanya tentang asal-usul SUNAN, sebagian ulama mengajarkan bahwa SUNAN adalah singkatan dari kata Susuhunan yang artinya sesembahan. Benarkah demikian? Ada benarnya. Sunan memang singkatan Susuhunan. Namun, tidak benar karena inilah Sunan sejati.

Di dalam tradisi Tiongkok, ada enam kasta bangsawan. Yaitu: Wáng (lafal: wáng) artinya yang dihormati kolong langit. Gōng (lafal: koung) artinya yang dihormati negeri-negeri. Hóu  (lafal: hóu) artinya yang dihormati bangsa-bangsa. Bà (lafal: pà) artinya yang dihormati beratus marga. Zǐ (lafal: chǐ) yang dihormati masyarakat. Nán  (lafal: nán) artinya yang dihormati orang banyak.

Jūn (lafal: cūn) artinya pejabat penguasa. Nán  (lafal: nán) artinya yang dihormati orang-orang. Jūnnán 君男 (Lafal: cunan) artinya pejabat penguasa (jūn) dengan kasta bangsawan Nán.

Kenapa para Wali disebut Jūnnán? Karena mereka diangkat sebagai pejabat penguasa oleh kekaisaran Tiongkok untuk menjadi penguasa atas orang-orang Tionghoa perantauan dan diberi kasta bangsawan Nán. Pada zaman itu, dinasti Ming Yang Agung (dà míng 大明) yang berkuasa di Tiongkok (1368–1644).

Misteri Jejak Susuhunan

Kerajaan Islam di Jawa terbagi dua jenis yaitu: Kesultanan dan Kasunanan. Kesultanan diperintah oleh Sultan sedangkan Kasunanan dipimpin oleh Susuhunan. Ketika ditanya, apa itu Susuhunan? Sebagian ulama mengajarkan bahwa Susuhunan artinya penerima susunan sepuluh jari dan susunan sepuluh jari artinya sesembahan. Itu sebabnya Susuhunan artinya sesembahan alias orang yang disembah. Kisanak, mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, ajaran demikian adalah kutak-katik asal ngait yang jauh panggang dari api alias pepesan kosong. Bila demikian, jelaskan kepada kami, apa itu Susuhunan?

Gelar bangsawan Nán diwariskan dari generasi ke generasi. Jabatan Jūn pun diwariskan sampai dicabut oleh dinasti yang berkuasa atau sampai dinasti yang berkuasa jatuh. Itu sebabnya gelar Sunan (Jūnnán) dan jabatan Wali diwariskan ke generasi berikutnya. Sunan Gresik mewariskan gelar dan jabatannya ke anaknya Sunan Ngudung (Imam masjid Demak). Sunan Kalijaga mewariskan gelar dan jabatannya ke anakya Sunan Muria. Itu sebabnya jumlah Wali selalu songo namun yang menjabatnya berbeda dari waktu ke waktu.

Wali Songo lenyap dan penyandang gelar Sunan pun tidak ada lagi. Apakah hal demikian terjadi karena dinasti Ming mengakhirinya atau karena Kesultanan Islam Nusantara yang mengakhirinya? Atau karena kekuasaan dinasti Ming berakhir tahun 1644 dan dinasti Qing (qīngcháo 清朝) yang menggantikannya melarang orang Tionghoa merantau dan menganggap semua orang Tionghoa perantauan dan keturunannya adalah pengkhianat? Itu sebabnya ketika Belanda menulis surat permintaan maaf atas terjadinya pembantaian puluhan ribu orang Tionghoa di Batavia tahun 1740, kaisar Qianlong (1711-1799) menolak permintaan maaf itu dengan menyatakan orang Tionghoa perantauan dan keturunannya bukan rakyat Tiongkok lagi namun pengkhianat yang harus mati? Saya tidak tahu. Saya tidak menemukan jejaknya.

Kerabatku sekalian, mari kita mengingat kembali kisah Raden Patah yang meskipun sudah mengangkat dirinya menjadi Sultan Demak namun tidak berani gegabah memperlakukan Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging. Belanda yang gagah perkasa saja takut pada kekaisaran Tiongkok apalagi Raden Patah yang seorang Tionghoa, bukan? Itu sebabnya dia tidak berani gegabah membunuh sesama Tionghoa perantauan.

Di dalam tradisi Tionghoa, meskipun gelar jabatan berakhir namun kasta bangsawannya terus disandang dan diwariskan ke generasi berikutnya. Itu sebabnya meskipun Dinasti Zhou jatuh namun kasta Wáng (raja) tetap disandang oleh keturunan berikutnya dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Itu sebabnya meskipun tidak menyandang gelar Jun lagi namun para keturunan Sunan tetap bangsawan Nan.

Yīsīlán 伊斯蘭 (lafal: yīsīlán) adalah terjemahan literal kata Islam. Jiào (lafal: ciau) artinya agama. Selain disebut Yīsīlán jiào 伊斯蘭教 agama Islam juga dinamai huíjiào 回教 (lafal: huiciau).

Jūnzhǔ  君主 (lafal: cūncǔ) artinya penguasa negeri atau raja. Apa yang terjadi ketika bangsawan Nan keturunan Sunan menjadi raja negeri? Mereka menggelari dirinya Jūnzhǔhuínán  君主回男 (lafal: cūncǔhuínán) yang dalam dialek Jawa kemudian dilafalkan Susuhunan yang artinya bangsawan Nan raja negeri Islam. Susuhunan lalu disingkat menjadi Sunan.

Itu sebabnya, kisanak, ketika bicara tentang Sunan, harus dipastikan dulu Sunan yang mana? Sunan singkatan Susuhunan atau Sunan yang Junan gelar Wali Songo?

Misteri Jejak Kiai

Menurut Bambang Noorsena, kata KIAI berasal dari kata KRIAN (Jawa kuno) yang kehilangan huruf R. Menurutnya kata-kata Jawa kuno kehilangan huruf R ketika menjadi kata Jawa modern. Krian artinya mulia.

Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, KRIAN tanpa huruf R adalah KIAN bukan KIAI.  KRIAN adalah gelar yang diberikan oleh raja Majapahit bagi para pembesar. Hanya raja yang boleh memberi gelar KRIAN kepada seseorang. Itu sebabnya guru agama Islam mustahil gelarnya KRIAN.

#Nurcholish Madjid: Istilah lain untuk menunjuk guru di pesantren adalah “kiai” juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan “kiai” untuk laki-laki dan “nyai” untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata “kiai” dan “nyai” dalam hal ini mengandung pengertian rasa penghormatan terhadap orang tua.

Benarkah orang Jawa memanggil kakeknya Kiai dan neneknya Nyai? Saya belum pernah menemukannya. Saya hanya tahu, orang Sunda memanggil kakeknya AKi dan neneknya Nini sedangkan kata Nyai digunakan untuk menyebut perempuan. Namun, memanggil semua guru agama Islam sebagai kakek sama sekali tidak masuk akal, bukan?

Kerabatku sekalian, Kata mandarin Jiāo (lafal: ciau) artinya mengajar. Yī (lafal: yi) adalah aksara pertama Yīsīlán 伊斯蘭. Yīsīlán adalah terjemahan literal Islam. Yī artinya Islam. Shī (lafal: shī) artinya guru. Jiāoyīshī 教伊 (lafal: ciauyīshī) artinya guru agama Islam. Salah satu tradisi Tionghoa sejak kuno adalah menyingkat kata itu sebabnya lafal Ciauyīshī pun disingkat menjadi Ciauyī yang kena pengaruh logat Jawa menjadi Kiai. Guru agama Islam.

Misteri Jejak Santri

*Zamakhsyari Dhofir:  Menurut penelitian Johns, istilah kata “santri” berasal dari bahasa tamil yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata “shastri”, yang dalam bahasa India berarti “orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu”. Pendapat ini didukung oleh Karel. A. Steenbrink, yang menyatakan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India.

Kerabatku sekalian, bahasa Tamil bukan lingua franca (bahasa pergaulan dunia) dan umat Hindu Nusantara tidak menggunakan bahasa Tamil namun Sanskerta. Itu sebabnya mustahil para KIAI mewarisi bahasa Tamil dari umat Hindu Nusantara apalagi blusukan ke Tamil untuk mencari kata guna  menyebut mereka yang belajar agama Islam kepadanya.

SANTRI Tamil adalah GURU ngaji. Santri di pesantren adalah MURID. Makanya Santri di pesantren mustahil SANTRI Tamil.

SHASTRI artinya PAKAR kitab suci. Santri di pesantren murid Alquran. Itu sebabnya Santri di pesantren mustahil SHASTRI.

#Nurcholish Madjid: Kata “santri” yang digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa; “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru.

Kata CANTRIK masih digunakan sampai sekarang, itu sebabnya tidak ada alasan untuk  mengeditnya menjadi Santri bila yang dimaksudkan adalah cantrik, bukan?

Dr. KH. M.A Sahal Mhafud: Kata santri berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata “santaro”, yang berarti “menutup”. Kalimat ini mempunyai bentuk jamak (plural) sanaatir (beberapa santri).”

Santri adalah orang yang belajar agama Islam, bukan belajar menutup. Itu sebabnya santri mustahil santaro.

Báishān白山 (lafal: páishān) artinya Sufi. lǎoshī (lafal: lǎoshī) artinya guru tua. Yàntì 砚弟 (lafal: yanthi) artinya murid muda. Báishān Yàntì 白山砚弟 (lafal: páishān yanthi) artinya murid Sufi. Karena tradisi menyingkat Tionghoa maka lafal Báishān Yàntì pun disingkat menjadi shāntì. Karena pengucapan thi hampir sama seperti tri maka shānthi pun dilafalkan SANTRI.

Misteri Jejak Ngaji

Nurcholish Madjid: Istilah lain yang berasal dari Jawa dan banyak digunakan di pesantren adalah ngaji dan njenggoti. Kata “ngaji” yang digunakan untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai di pesantren berasal dari kata “aji” yang berarti terhormat dan mahal. Kata “ngaji” biasanya disandingkan dengan kata “kitab”; “ngaji kitab” yang berarti “kegiatan santri pada saat mempelajari kitab yang berbahasa Arab”. Oleh karena itu santri banyak yang belum mengerti bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh kiai diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan kiainya dan mereka mencatatnya pada kitab yang dipelajari, yaitu di bawah kata-kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat terjemahan ini di pesantren biasa dikenal dengan istilah “njenggoti”, karena catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang diterjemahkan. Penggunaan istilah Jawa di atas menunjukkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan khas Indonesia. Pada awalnya pesantren lahir di Jawa dan selanjutnya berkembang ke luar Jawa.

Dalam bahasa Jawa, sinomin kata AJI adalah paduka, baginda, raja. NGAJI adalah belajar menulis dan membaca huruf Arab. Menyatakan NGAJI berasal dari kata AJI adalah kutak katik biar ngait yang jauh panggang dari api.

Gōu (lafal: kouw) artinya mengait. Jī (jhi) artinya menyelidiki. Gōujī 钩稽 (lafal: kouwjī) artinya mempelajari (menyelidiki). Gǔ (lafal: ku) artinya kuno. Jīgǔ 稽古 (Jīkǔ) artinya kitab kuno (suci). Gōujī jīgǔ 钩稽 稽古 (lafal: kouwji jiku) artinya mempelajari (menyelidiki)kitab kuno (suci). Karena tradisi menyingkat Tionghoa maka kouwhi jiku pun disingkat menjadi kouwji. Karena pengaruh logat Jawa maka lafal kouwji pun menjadi NGAJI.

Akhirnya Kata-Kata

Gus Dur. Karena begitu mengaguminya maka memutuskan tidak menemuinya agar tidak termakan kharismanya sehingga bisa melihat dan memahami ajarannya apa adanya saja.

Setelah bertahun-tahun menyelidiki akhirnya blog ini jadi. Untuk menghormati Gus Dur sebagai hadiah bagi anak bungsunya Inayah Wahid. Saya ngefans pada keduanya.

Pertama kali melihat Inayah di televisi waktu Gus Dur masih presiden. Saat itu dia pakai seragam sekolah.

Kedua kali melihatnya sehabis hujan lebat di kebaktian natal bagimu negeri di depan istana bersama GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia 25 Desember 2013.

Ketiga kali bertemu dengannya di Wahid Institute saat GKI Yasmin mengadakan jumpa pers tentang dukungannya dan harapannya pada Walikota Bogor terpilih Bima Arya Sugiarto tanggal 4 April 2014 yang lalu.

Entah kenapa, sejak pertama kali melihatnya, merasa akrab dengannya. Karena merasa Inayah yang paling banyak mewarisi KEJAILAN Gus Dur yang lucu? Karena merasa dia yang paling banyak mewarisi rupa Gus Dur dan Sinta Nuriyah? Mungkin.

Sejarah ditulis oleh pemenang? Hal demikian tidak terjadi dalam tradisi Tiongkok. Raja tidak memberi perintah kepada pencatat sejarah. Pencatat sejarah dinasti mencatat apa adanya saja kemudian menyimpannya di kotak sejarah dan menguncinya. Pencatat sejarah tidak boleh membaca kitab sejarah apalagi yang ditulisnya. Catatan sejarah tidak boleh dibaca selama raja masih hidup. Ketika generasi selanjutnya membaca kitab sejarah dia boleh menulis komentar namun tidak boleh mengubah apalagi memusnahkan yang tertulis.

Memahami yang kuno apa adanya untuk mengerti hari ini lalu mencatatnya adalah jalan susilawan  (jūnzǐ dào  君子道) berbakti kepada generasi selanjutnya.

Tulis ini bukan seluruh kebenaran namun satu langkah untuk mencari yang benar.