Lailatul-Qadr Alias Lailatul-Qurãn, Mengantar Terbitnya Fajar Peradaban

In Tafsir on September 11, 2009 at 4:48 pm

Kalau tak salah, dalam khutbah Rasulullah itu disebutkan bahwa di bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Apakah yang dimaksud itu lailatul-qadr?

Benar.

Terus terang, dari kecil sampai sekarang, saya belum juga mengerti apa yang disebut lailatul-qadr  itu.

Secara harfiah, lailatul-qadr ada-lah sebuah istilah yang terdiri dari kata majemuk, gabungan dari kata lailatun dan al-qadru. Ketika dua kata ini digabungkan, bunyinya menjadi lailatul-qadri, yang bisa juga dibaca lailatul-qadr. Kata yang pertama, lailatun, yang bisa juga diucapkan lailah, artinya adalah “malam”. Sedangkan al-qadru adalah kata benda definitif; gabungan kata sandang “al” dengan kata benda ”qadrun”. Arti kata “qadrun” antara lain adalah kadar, cakupan, kuantitas, jumlah, skala, tingkat, ukuran, nomor. Bisa juga berarti nilai, pangkat, dsb. Juga bisa berarti ketetapan, ketentuan, kepastian, nasib, dsb.

Wah, kalau arti kata qadrun itu begitu banyak, lalu lailatul-qadr itu artinya apa doong?  Saya jadi bingung.

Kalau yang anda ingat adalah berbagai cerita orang tentang lailatul-qadr, yang simpang siur tak keruan, memang anda bisa menjadi bingung. Tapi bila kita kembali ke sumbernya, kebingungan itu pasti hilang.

Nah, justru itulah masalahnya. Saya tidak tahu sumber cerita-cerita itu.

Yang saya maksud bukan sumber cerita-cerita itu, tapi sumber istilah lailatul-qadr, yaitu Al-Qurãn. Tepatnya surat Al-Qadr, surat ke-97. Anda pasti sudah hafal surat itu kan?

Kalau cuma sekadar hafal sih, ya sudah hafal sejak kecil. Tapi kalau ditanya pengertiannya, sampai sekarang pun saya belum tahu!

Ha-ha! Kebanyakan memang begitu sih. Tapi, mudah-mudah setelah kita berdialog ini anda akan cukup mengerti. Coba kita perhatikan surat itu!

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(2)لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ(3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ(4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ(5)

1.Sesungguhnya Kami (Allah melalui malaikatNya) menurunkan dia (Al-Qurãn) pada Lailatul-Qadr.

2.Tahukah kamu apa itu Lailatul-Qadr?

3.Lailatul-Qadr itu lebih baik dari seribu bulan.

4.Pada waktu itu turun Malaikat bersama Ar-Rûh, yang berisi informasi Tuhan mereka tentang segala urusan.

5.Itulah (malam) keselamatan, sehingga (Lailatul-Qadr) itu menjadi momentum terbitnya fajar (kebenaran).

Dalam terjemahan itu, mengapa anda tidak menerjemahkan istilah lailatul-qadr?

Tadi sudah saya jelaskan; lailah berartri malam, dan al-qadru mempunyai banyak pengertian, yang semuanya bisa anda pasangkan dengan pengertian lailah. Semua tidak akan salah sejauh itu masih berhubungan dengan sifat Al-Qurãn.

Jadi, maksud anda, al-qadru itu adalah sifat Al-Qurãn?

Ya. Berdasar kenyataan bahwa yang diturunkan pada “malam” itu adalah Al-Qurãn. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa al-qadru itu adalah salah satu sebutan atau nama Al-Qurãn.

Alasannya?

Para ulama menamai Al-Qurãn dengan kata-kata yang menggambarkan isi, fungsi, dan sifat Al-Qurãn. Imam As-Suyuti, misalnya, menye-butkan 50 nama. Abul Ma’ali 55 nama. Abul Hasan Al-harali 90 nama. Sebagian dari nama-nama itu mereka ambil dari Al-Qurãn sendiri, yang lainnya dari Hadis.[1]

Tapi, apakah istilah al-qadru dalam surat ini memang bisa dianggap sebagai nama Al-Qurãn?

Kita bisa memastikannya melalui surat itu sendiri. Coba perhatikan lagi terjemahan yang saya ajukan. Lebih dulu, coba anda perhatikan juga kata ar-rûh pada ayat ke-4. Bila anda hubungkan ini dengan surat Asy-Syura ayat 52, maka ar-rûh ini adalah Al-Qurãn. Dep-Ag pun mengakui hal itu.

Jadi, dalam surat ini ada dua istilah yang berarti Al-Qurãn, yaitu ar-rûh dan al-qadru?

Ya. Sekarang, mari kita lakukan ‘percobaan’ sebagai berikut. Kita ganti kata al-qadru dan ar-rûh dalam surat ini dengan Al-Qurãn. Perhatikan!

1.Sesungguhnya Kami (Allah melalui malaikatNya) menurunkan dia (Al-Qurãn) pada Lailatul-Qurãn.

2.Tahukah kamu apa itu Lailatul-Qurãn?

3.Lailatul-Qurãn itu lebih baik dari seribu bulan.

4.Pada waktu itu turun Malaikat bersama Al-Qurãn, yang berisi informasi Tuhan mereka tentang segala urusan.

5.Itulah (malam) keselamatan, sehingga (Lailatul-Qurãn) itu menjadi momentum terbitnya fajar (kebenaran).

Waah, ini tafsir model baru ya?

Bukan. Ini namanya tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn. Sebenarnya ini tafsir cara lama, tapi mungkin sudah dilupakan orang, karena orang lebih suka menafsirkan Al-Qurãn dengan cara mereka masing-masing.

Jadi, melalui penafsiran ini, jelaslah bahwa lailatul-qadr itu adalah lailatul-qurãn, alias malam turunnya Al-Qurãn?

Ya. Jelas sekali. Bukankah surat Al-Baqarah ayat 185 menegaskan bahwa Al-Qurãn diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan seiring dengan itu, ada sejumlah Hadis yang menyebutkan bahwa lailatul-qadr itu terdapat di bulan Ramadhan?

Ya. Tapi, saya belum bisa menerima menerima dengan mantap bahwa al-qadr itu identik dengan Al-Qurãn.

Kalau begitu, mari kita periksa surat Ad-Dukhan ayat 1 sampai 6.

Baik!

حم(1)وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ(2)إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ(3)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ(4)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ(5)رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ(6)

Hã-mîm. (Yakni inilah) Al-Kitãb sang pemberi penjelasan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada lailah mubãrakah. Sesungguhnya (dengan penurunan Al-Kitãb ini) kami tegaskan bahwa Kami adalah pemberi peringatan. Pada malam (penurunan Al-Kitãb) itu, segala perkara benar-benar dipilah berdasar prinsip hukum. (Al-Kitãb inilah) perkara (missi) dari Kami; menjadi penegas bahwa Kami adalah pengutus para rasul. (Al-Kitãb inilah) anugerah dari Tuhanmu. Dia (dengan Al-Kitãb ini) adalah pementuk tanggapan (persepsi) ilmiah yang tiada tanding.

Perhatikanlah satu frasa penting dalam ayat ini: inna anzalnã-hu fî lailatin mubãrakatin. Susunannya sangat mirip dengan inna anzalnãhu fî lailatil-qadr. Dan perhatikan pula bahwa kata ganti nama hu (= huwa: dia) dalam ayat ini adalah pengganti bagi kata benda yang sudah disebut sebelumnya, yaitu Al-Kitãb. Anda tahu yang di-maksud Al-Kitãb ini apa?

Tentunya Al-Qurãn kan?

Ya! Kemudian, perhatikan pula istilah lailatin mubãrakatin di sini, yang jelas ditempatkan sebagai ‘si-nonim’ dari lailatul-qadri.

Sinonim?

Maksud saya mengacu pada pengertian yang sama. Yaitu momentum penurunan Al-Qurãn alias Al-Kitãb. Momentumnya adalah lailatun atau lailah, yang berarti “malam”. Kemudian, kata ini dibatasi atau didefinitifkan dengan al-qadr pada surat Al-Qadr, dan dengan mubãrakatin pada surat Ad-Dukhan. Kedua kata ini, al-qadr dan mubãrakatin, sama-sama menggambarkan keadaan atau sifat Al-Qurãn, yang dalam surat Ad-Dukhan disebut dengan istilah Al-Kitãb.

Wah, rumit juga ya?

Sebenarnya tidak, bila kita sudah terbiasa membaca Al-Qurãn, mengikuti gaya tuturnya, dan mengecap rasa bahasanya.

Dan untuk itu tentu harus belajar di pesantren atau di perguruan tinggi agama?

Salah! Pesantren maupun perguruan tinggi agama, sayangnya, tidak mengarahkan kita ke sana; walau mungkin dapat mengantarkan, secara tidak langsung. Maksud saya, beberapa ilmu yang kita dapat di sana memang bisa menjadi alat untuk memahami Al-Qurtãn. Namun, menghayati Al-Qurtãn hanya dapat dilakukan dengan mengakrabi Al-Qurtãn itu sendiri, secara tekun, dan penuh minat untuk menyerap petunjuk Allah.

Jelasnya, ilmu apa saja yang bisa membantu kita memahami Al-Qurtãn itu?

Secara umum, sebenarya semua ilmu bisa membantu kita untuk memahami Al-Qurtãn. Tapi, yang jelas membantu secara langsung dan mendasar adalah ilmu bahasa, mulai dari sharaf, nahwu, balaghah, dan sebagainya. Tapi, ilmu-ilmu ini pun tidak akan terlalu membantu bila kita tidak memahami the special form of idea dari Al-Qurtãn itu sendiri.

Wah, apa pula itu?

Ha-ha! Itu istilah filsafat, yang kata orang merupakan induk segala ilmu. Intinya – katakanlah melalui filsafat ilmu –  setiap ilmu dibedakan dari ilmu-ilmu yang lain berdasar ciri khas gagasannya, alias special form of idea-nya. Dalam konteks filsafat, anda bisa memilah-milah setiap special form of idea berdasar nama-nama para filsufnya, yang biasanya mewakili aliran-aliran filsafat tertentu. Nah! Al-Qurtãn sebagai sebuah ilmu – dari Allah – itu juga mempunyai special form of idea yang unik. Ba-asa Al-Qurtãnnya laisa kamitslihi syai`un, seperti halnya diri Allah sendiri, tak ada sesuatu pun yang menyamaiNya!

Wah, itu sangat menarik!  Di mana saya bisa mempelajarinya?

Di pesantren atau perguruan tinggi, rasanya, belum diajarkan. Atau, barangkali, belum dielaborasi.

Anda bisa mengajarkannya kepada saya?

Insya-Allah! Tapi, sekarang kita kembali dulu pada masalah lailatul-qadr.

Ya, ya. Saya sudah menangkap bahwa lailatul-qadr itu sama dengan lailatin mubãrakatin, yang keduanya – pada akhirnya – bisa ditegaskan sebagai lailatul-qurãn.

Tepat.

Dan lailatul-qadr, atau lailatul-qurãn yang ada di bulan Ramadhan itu, dikatakan lebih baik dari seribu bulan. Maksudnya apa?

Ini berkaitan dengan sejarah peradaban manusia. Bila ditinjau dari sudut pandang Al-Qurãn, sejarah peradaban itu sama dengan sejarah iman. Yaitu perjalanan iman dari masa ke masa, yang mengalami naik, turun, bahkan musnah. Yang saya maksud dengan iman di sini adalah “sebentuk peradaban yang dibangun oleh para rasul Allah, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, berdasar the special form of idea (wahyu) dari Allah.

Jadi, anda ingin mengatakan bahwa para rasul itu adalah para pembangun bentuk peradaban tertentu, yang berbeda dengan peradaban-peradaban yang lain?

Ya. Saya kira itu jelas sekali kan? Bila anda mempelajari sejarah Nabi Muhammad, misalnya, kan jelas sekali bahwa beliau memimpin terbentuknya sebuah peradaban baru – katakanlah – yang berbeda dengan peradaban Arab jahiliyah; dan juga berbeda deng-n peradaban Yahudi, Romawi, dan Persia.

Hm, ya. Saya mengerti maksud anda. Lalu apa hubungannya dengan ayat tadi? Maksud saya dengan lailatul-qadr yang katanya lebih baik dari seribu bulan itu!

Bila berhitung soal waktu, seribu bulan itu kan sekitar 83 tahun. Kalau kita bulatkan menjadi 100 tahun, maka seribu bulan itu sama dengan satu abad. Kemudian, bila dikaitkan dengan usia manusia, satu abad itu kan sama dengan masa kelahiran dua generasi.  Setiap generasi, kata Rasulullah, lahir dalam keadaan fithrah; yang oleh surat An-Nahl ayat 78 dit-gaskan bahwa fithrah ini artinya tidak tahu apa-apa. Nah! Generasi (bayi) yang tidak tahu apa-apa itu kemudian dibentuk oleh kedua orangtuanya, atau lingkungannya, menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.

Wah, jadi menyinggung agama lain nih!

Ini pembicaraan ilmiah, bukan pergunjingan. Kita bicara Yahudi, Nasrani, Majusi, atau apa pun lewat sudut pandang Rasulullah, yang tentu tidak bertentangan dengan wahyu. Rasulullah (Nabi Muhammad) diutus untuk menjelaskan bahwa ajaran Yahudi, Nas-ani, dan Majusi itu salah menurut sudut pandang wahyu yang diterimanya. Ini kan bisa dianggap sebagai asumsi ilmiah toh? Artinya, benar atau salahnya asumsi ini kan bisa diverifikasi secara ilmiah, bukan ditanggapi secara emosional. Begitu juga dengan pernyataan siapa pun tentang Nabi Muhammad. Jangan dianggap penghinaan. Anggap saja tantangan ilmiah, bagi kita dan bagi pihak yang melontarkan sendiri. Itu adalah tantangan bagi siapa pun yang berpikir ilmiah, untuk melakukan verifikasi ilmiah. Supaya masalahnya jelas secara ilmiah, gitu lho.

Benar juga. Supaya kita tidak selalu menanggapi sesuatu secara emosional ya? Tapi, wah jadi melantur nih!  Kembali ke ayat tadi deh!

Ya. Jadi, ayat tadi itu bermaksud memberikan perbandingan bahwa masa seribu bulan, atau seabad, atau dua generasi, atau bahkan seratus abad sekalipun, yang di dalamnya kosong dari petunjuk Allah (khaliyatun minal-huda), walaupun di sana ada prestasi-prestasi ilmiah, ada pencapaian-pencapaian teknologi tinggi dan sebagainya, itu semua tetap tidak berarti. Dengan demikian, dalam pandangan Allah, turunnya wahyu itu lebih baik dari ‘seribu bulan’, karena dengan wahyu itulah manusia baru bisa membangun sebuah peradaban yang baik dan benar menurut Allah.

O, begitu ya? Menarik. Tapi, tunggu dulu! Rasanya saya juga pernah membaca, atau mendengar penafsiran lain tentang ayat itu dari seseorang. Di situ dikatakan, atau saya dengar, bahwa seribu bulan itu berarti seribu sarjana. Maksudnya, Al-Qurãn itu lebih hebat dari karya seribu sarjana. Bagaimana pandangan anda?

Dalam kebiasaan orang Arab, orang pintar – atau sarjana dalam istilah kita sekarang – memang sering disebut sebagai bulan atau bintang. Rasulullah sendiri menyebut para sahabatnya sebagai bintang (Inna ashhaãbi kan-nujûm…). Dalam syair Barjanzi, kalau tak salah, Rasulullah sendiri disapa dengan anta syamsun, anta badrun, anta nûrun fawqa nûrin (anda adalah matahari, bulan, cahaya atas cahaya).

Perhatikanlah bahwa kata-kata syamsun, badrun, nûrun atau nûrin itu semua mengacu pada benda atau zat. Tapi kata syahrin dalam ayat lailatul-qadri khairun min alfi syah-rin itu mengacu pada waktu. Jelasnya, badrun adalah “bulan” dalam arti benda angkasa yang memantulkan cahaya matahari ke bumi. Sedangkan syahrin atau syahrun adalah “bulan” dalam arti sejumlah waktu (satuan waktu).

Dalam teori ilmu balaghah (sastra; stilistik), satu benda yang kita kenal dengan baik dapat digunakan untuk menggambarkan benda yang belum dikenal, misalnya bola digunakan untuk menggambarkan bumi. Bola dengan bumi itu sebenarnya tidak sama persis, tapi di antara keduanya ada segi atau aspek kesamaan, yaitu bentuknya yang bulat. Begitu juga ketika Nabi Muhammad disebut (diibaratkan) sebagai bulan (badrun), kita tahu bahwa bulan tidak sama dengan Nabi Muhammad, tapi di antara keduanya ada kesamaan, yaitu bersifat menerangi, walau yang satu (bulan) menerangi dengan zat bernama sinar, dan yang lain (Nabi Muhammad) menerangi dengan ilmu (wahyu).

Ayat lailatul-qadri khairun min alfi syahrin, itu jelas sekali bukan kalimat perumpamaan, tapi perbandingan. Allah memperbandingkan keadaan “dua waktu”, yaitu “waktu satu malam” dengan “waktu seribu bulan”. Yang pertama adalah waktu yang di dalamnya ada Al-Qurãn, dan yang kedua adalah waktu yang di dalamnya tidak ada Al-Qurãn. Yang pertama itu khair(un) (lebih baik) daripada yang kedua.

Jadi, dengan kata lain, perbandingan ini menyatakan bahwa yang sedikit lebih baik dari yang banyak?

Ya. Karena yang sedikit itu berbobot, sedangkan yang banyak itu hampa. Jadi, penilaian tidak diletakkan pada kuantitas (bilangan) tapi pada kualitas (mutu). Sebagai analogi, bandingkanlah antara sehari ketika bangsa kita melakukan Proklamasi kemerdekaan, dengan 350 tahun ketika kita dalam penjajahan Belanda. Mana yang lebih baik, yang sehari atau yang 350 tahun?

Tentu saja yang sehari!

Mengapa?

Karena di situ ada Proklamasi kemerdekaan.

Tepat. Jadi, Proklamasi kemerdekaan itu membuat satu hari menjadi lebih baik dari 350 tahun penjajahan. Begitu juga halnya Al-Qurãn. Ia membuat satu malam menjadi lebih baik dari seribu bulan.

Oh! Jadi, turunnya Al-Qurãn itu ibarat sebuah proklamasi kemerdekaan ya?

Ya. Penurunannya yang pertama adalah proklamasi. Selanjutnya, Al-Qurãn secara keseluruhan adalah sebuah konsep pembebasan, yaitu pembebasan dari segala bentuk ‘kegelapan’. (li-yukhrijakum mina-zhu-lumati ila-nuri).[2]

Bisa dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan kegelapan itu?

Dari sudut ilmiah, kegelapan itu bisa berarti kebodohan. Dari sudut budaya, bisa berarti kebiadaban. Dari sudut politik, bisa berarti tirani. Dari sudut ekonomi, bisa berarti eksploitasion d’lhome par l’home, homo homini lupus (pemerasan manusia atas manusia, manusia menjadi serigala bagi sesamanya), dan sebagainya.

Wah!  Jadi semakin jelas bagi saya bahwa turunnya Al-Qurãn itu memang lebih baik dari seribu bulan ya?

Ya. Tapi itu hanya terjadi di masa Rasulullah dan para Sahabat. Setelah itu, umat Islam pun menjadi bodoh, biadab, tiranis, dan saling ‘memakan’ sesamanya!

Maksud anda?

Bacalah sejarah umat Islam. Titik awalnya Arab Jahiliyah, dicerahkan Allah dengan penurunan Al-Qurãn, Al-Qurãn tumbuh menjadi peradaban pada periode da’wah Rasulullah yang kedua (Madinah), dilanjutkan oleh keempat sahabat beliau, yang mulai digerogoti oleh ‘rayap-rayap’ Jahiliyah lagi, sampai kemudian muncul Muawiyyah – sang jagal keluarga Rasulullah – menjadi khalifah dengan gaya raja Romawi, dan seterusnya dinasti demi dinasti tumbuh saling menyusul, saling ‘sikat’ satu dengan yang lain… sampai kemudian mereka merambah dunia Eropa, lalu timbul Perang Salib, dan akhirnya umat Islam terpuruk dikaki para penjajah Kristen sampai sekarang!

Lho, bukankah yang anda sebutkan itu, sebagian, merupakan sejarah kegemilangan umat Islam?

Saya setuju bila kegemilangan itu diberi tanda kutip. Artinya, memang benar bahwa agama Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia, sampai merambah dunia Kristen Eropa, bahkan membantu mencerahkan mereka juga, menjadi pemicu apa yang disebut Renaissance itu kan?

Saya kurang memahami ada yang disebut Renaissance itu.

Itu adalah istilah untuk menyebut peristiwa kebangkitan peradaban Yunani di Eropa pada abad 14-16, terutama di bidang kesenian dan literatur. Hal itu terjadi setelah bangsa-bangsa Eropa tenggelam dalam masa-masa yang mereka sebut abad-abad kegelapan (dark ages), saat mereka terpuruk di bawah kekuasaan Gereja yang mencengkam masyarakat dengan takhyul dan sihir. Dengan kata lain, Renaissance itu sebenarnya merupakan peristiwa pemberontakan para seniman, sastrawan, dan ilmuwan terhadap kekuasaan Gereja.

Lalu, apa hubungannya dengan umat Islam?

Pada saat itulah umat Islam masuk ke Eropa, menyebarkan Islam, dan kemudian juga para cendekiawannya beramai-ramai mempelajari buku-buku filsafat Yunani, yang kemudian mereka terjemahkan dan menafsirkan dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa Eropa. Anda tentu ingat nama-nama seperti Alkindi, Alfarabi, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusydi (Averroes), Al-Ghazali. Mereka ini berpengaruh di dunia Eropa. Mereka mendapat kedudukan terhormat bukan hanya karena pengetahuan mereka tentang filsafat Islam, tapi juga karena mereka sangat tolerant dan welcome terhadap perpustakaan Yunani. Banyak kepustakaan Yunani dibakar orang Katolik, karena dianggap mengandung bid’ah. Sebaliknya, para cendekiawan dan pujangga Islam bukan hanya memelihara kepustakaan itu dengan baik, tapi juga menekuni, sehingga mereka menjadi pakar. Ibnu Rusydi, misalnya, yang hidup di Spanyol sekitar tahun 1150 M, terkenal sebagai penafsir (komentator) Aristoteles. Jadi, para cendekiawan muslim masa itu telah menyelamatkan kekayaan intelektual Yunani, sekaligus merangsang orang Barat sendiri untuk kembali menekuninya. Jadi, menurut saya, orang Barat itu sebenarnya diyunanikan kembali oleh para cendekiawan muslim!

Ck-ck!  Hebat sekali para cendekiawan muslim itu ya?

Ya. Tapi jangan pula melupakan ironi di balik itu!

Maksud anda?

Para cendekiawan muslim itu bukan hanya berjasa membuat orang Barat kembali kepada warisan intelektual dan budaya nenek moyang mereka (Yunani), yang kadang disebut sebagai Helenisme itu; tapi – seiring dengan itu – mereka juga ikut menyerap Helenisme itu ke dalam kesadaran intelektual mereka, dan kemudian menulari umat Islam secara keseluruhan. Jelasnya, ketekunan mereka mempelajari, menerjemahkan, dan menafsirkan filsafat Yunani, telah secara langsung menjadi anak sungai yang mengalirkan filsafat Yunani ke dunia Islam.

Apakah itu berarti buruk?

Ingat kembali pada pembicaraan kita tentang special form of idea!  Bagi umat Islam, Al-Qurãn itulah the special form of idea mereka. Mereka tidak boleh menyimpang atau mengabaikan itu, bila ingin tetap menjadi muslim yang hakiki. Manakala mereka terpikat oleh berbagai idea lain, maka bangunan kesadaran mereka yang asli, yang Qurãni, pasti hancur kan?

O, begitu ya? Karena itu umat Islam jadi mundur ya?  Saya jadi ingat kata-kata … siapa ya? Muhammad Abduh, kalau tak salah; yang mengatakan bahwa umat Islam menjadi mundur karena meninggalkan agamanya?

Tepatnya dia bilang: tarakal-masihiyuna adyanahum, fa-taqaddama. Wa tarakal-muslimuna dinahum, fa-ta`akhkhara. Kaum Masehi (Kristen) meninggalkan agama-agama mereka, sehingga mereka jadi maju. Dan kaum muslimin meninggalkan pula agama mereka, sehingga menjadi mundur.

Kalau memperhatikan uraian anda, umat Islam menjadi mundur justru karena menginggalkan Al-Qurãn, untuk memburu filsafat Yunani?

Begitulah, kira-kira.

Wadduh!  Saya jadi sedih nih.

Kita semua memang layak bersedih. Tapi kenyataan ini juga suatu tantangan yang harus kita jawab. Atau suatu ujian yang harus kita selesaikan secara konkret.

Maksud anda?

Ini tantangan Allah. Ujian Allah, untuk membuktikan apakah kita ini benar-benar ingin menjadi hambanya atau cuma mengaku-aku saja. Tantangan itu, ujian itu, bermula dari penurunan Al-Qurãn sebagai the special form of idea, sebagai konsep peradaban yang tidak hanya unik, tapi juga bisa menjadi solusi bagi masalah dunia sekarang.

Perhatikanlah bagian akhir dari surat Al-Qadr itu. Di situ diisyaratkan bahwa Al-Qurãn diturunkan sebagai konsep perdamaian, yang penurunan pertamanya di malam hari bulan Ramadhan itu adalah ibarat fajar yang mengawali terkuaknya hari baru, zaman baru, peradaban baru. Sebuah peradaban yang membawa missi perdamaian (salãm) bagi dunia.

Tapi, tampaknya, sekarang kita harus memulainya dari awal lagi ya?

Ya. Bahkan harus mulai dari usaha untuk memahami Al-Qurãn sebagai the special form of idea. Berarti harus mulai dari usaha penegakan Al-Qurãn sebagai sebuah sistem filsafat, sebagai sebuah landasan berpikir ilmiah, sehingga bisa mencerahkan kita semua. Itulah yang bisa muncul sebagai ‘fajar’ yang mengawali tegaknya sebuah peradaban baru. Peradaban Al-Qurãn.

Itu pesan yang tersirat dari surat Al-Qadr ya?

Persis! You get the point!

Ya, ya. Terimakasih anda telah mengingatkan saya tentang hal itu. Tapi, bagaimana pula pandangan anda tentang lailatul-qadr  yang katanya bisa ditemui pada malam-malam ganjil di setiap akhir bulan Ramadhan?

Kita baru saja membahas sebuah surat pendek, yang diperkuat serangkaian ayat dari sebuah surat panjang, yang begitu gamblang menggambarkan apa itu lailatul-qadr. Memang ada beberapa Hadis seperti yang anda sebutkan itu. Tapi, bila kita sudah mendapat gambaran yang jelas dari Al-Qurãn, perlukan kita mengambil dalil dari Hadis yang tampaknya bahkan bertentangan dengan Al-Qurãn itu sendiri?

Lho, memangnya Hadis-hadis tentang lailatul-qadr itu bertentangan dengan Al-Qurãn?

Perhatikan saja!  Al-Qurãn menegaskan bahwa lailatul-qadr hanya terjadi sekali, yaitu pada saat Al-Qurãn pertama kali diturunkan. Tapi Hadis-hadis itu menyebutkan bahwa lailatul-qadr terjadi berulang-ulang setiap tahun, pada hari-hari yang tidak bisa ditebak oleh kita. Itu yang pertama. Yang kedua, Al-Qurãn menegaskan bahwa lailatul-qadr itu adalah sebuah masa, sebuah momentum penurunan sebuah konsep peradaban, yang akan membawa manusia pada kehidupan yang serba jelas dan pasti. Sedangkan Hadis-hadis itu, semua tampak seperti mengarahkan kita pada ketidak-pastian, pada teka-teki, spekulasi, bahkan khayalan. Itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.

Apakah anda hendak mengatakan bahwa Hadis-hadis itu palsu?

Saya belum mengatakan demikian, karena saya juga belum mendalami Hadis-hadis itu. Tapi, untuk sementara, bila penjelasan Al-Qurãn sudah begitu gamlang, kita pegang itu dululah.

Tapi, Hadis-hadis tentang lailatul-qadr itu kan beredar dalam masyarakat, karena memang selalu diulang-ulang oleh para mubaligh.

Bisa anda ajukan contoh?

Ini saya bawa koran Pikiran Rakyat tanggal  12 Oktober 2006, yang memuat tulisan Ir. H. Bambang Pranggono, M.B.A., seorang mubalig yang merupakan salah seorang pendiri BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia). Judulnya Misteri Lailatul Qadar …

Nah, mereka selalu menggambarkan lailatul-qadr sebagai misteri!

Ya.

Coba teruskan baca tulisannya.

Pak Ustadz Bambang ini memulai tulisannya dengan mengutip surat Al-Qadr ayat 3 …

Itu juga menjadi ciri kebanyakan mbalig. Mereka suka mengutip ayat secuil-secuil, sehingga pengertiannya menjadi lepas dari konteksnya. Seperti sudah saya ungkapkan di atas, pengkajian pada surat Al-Qadr secara utuh, apalagi setelah dihubungkan dengan surat Ad-Dukhan ayat 1-6, lailatul-qadr itu sebenarnya bukan sebuah misteri.

Saya lanjutkan baca. “Syahdan para sahabat Nabi Muhammad saw kagum mendengar kisah pemuda Bani Israil yang taat. Dia beribadah di malam hari terus-menerus selama 80 tahun. Selanjutnya, turunlah surat ini yang memberi peluang umat Islam memperoleh pahala 1.000 bulan dengan ibadah cukup satu malam.”

Kebanyakan mubalig juga gemar mendongeng. Mereka seperti tidak tahu bahwa agama kita sebenarnya tidak mengajarkan mitos, dan Al-Qurãn itu bukan mitologi. Bukan sebuah buku dongeng.

Tapi, bukankah yang disebutkan beliau ini adalah asbabu-nuzul dari surat Al-Qadr?

Ya. Memang banyak atau kebanyakan ulama mengajarkan bahwa asabu-nuzul merupakan penentu makna suatu surat, tepatnya suatu ayat, karena tidak ada asbabu-nuzul yang mencakup satu surat secara utuh. Tapi ada juga ulama yang justru mempertanyakan pemakaian asbabu-nuzul sebagai penentu. Amin Al-Khûlî, misalnya, menegaskan bahwa asbabu-nuzul hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Pernyataan ini diperkuat oleh istrinya, Bintusy-Syathi’, bahwa asbabu-nuzul sering berisi cerita-cerita bersifat waham (takhyul).

Termasuk cerita yang disebut Ustadz Bambang tadi?

Tampaknya, iya. Perhatikan saja bagaimana Allah digambarkan seperti terpengaruh oleh kekaguman para sahabat Nabi terhadap kisah Bani Israil, lalu menurunkan surat Al-Qadr, khususnya ayat 3 itu, seolah-olah Allah tidak mempunyai konsep sendiri tentang penurunan surat itu.

Tapi, tampaknya beliau ini ingin menekankan pada masalah “pahala” beribadah pada saat lailatul-qadr yang senilai dengan 80 tahun itu!

He-he! Umat sudah ‘ditipu’ atau dibodohi oleh para mubalig dengan cerita-cerita tentang pahala yang abstrak yang bertumpu pada kepercayaan yang tidak boleh dipertanyakan (dogma), sehingga mereka jadi terasing dari ‘pahala’ konkret berupa ilmu dan nilai fungsional praktisnya, yang didapat dari pengkajian Al-Qurãn.

Saya lanjutkan baca lagi ya? “Malam ini dinamakan Lailatul Qadar. Para ulama sepakat bahwa mulianya Lailatul Qadar karena Alquran turun di malam itu.”

Itu sudah kita bahas panjang lebar kan?

Iya. Berikutnya, “Dalam kitab Mazahirul Haq tertulis bahwa di malam itu malaikat diciptakan dan pohon-pohon surga ditanam. Dalam kitab Ad-Durul Mantsur tertulis bahwa di malam itu Nabi Isa a.s. diangkat ke langit.”

Cerita yang layak dipertanyakan kebenarannya! Tapi, catat satu hal, tentang Nabi Isa. Bila yang dimaksud “diangkat” itu adalah kiasan, maka semua nabi “diangkat” oleh Allah ke derajat yang tinggi melalui wahyu yang mereka terima.

Bukankah ada ayat Al-Qurãn yang menceritakan bahwa Nabi Isa diangkat ke langit, untuk meloloskannya dari penyaliban?

Itu akan kita bahas nanti.

Saya baca lagi. “Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, malam Lailatul Qadar bermandikan cahaya Allah, cahaya malaikat, dan cahaya roh sampai terbit cahaya fajar. …”

Bila “cahaya” di sini juga berarti kiasan, bahwa yang dimaksud adalah wahyu (Al-Qurãn) sebagai penerang kehidupan budaya, maka itu memang sesuai dengan konteks surat Al-Qadr.

Lagipula, bukankah Al-Qurãn itu sendiri disebut sebagai an-nûr (cahaya)?

Benar.

Saya baca lagi. “Rasulullah saw menyuruh kita menghidupkan malam itu, “Barangsiapa bangun untuk ibadah di malam Lailatul Qadar, dengan iman dan harapan, akan diampuni dosa-dosanya yang lampau.” Bagai-mana komentar anda?

Bila kita semua membiasakan diri bangun di malam hari untuk melakukan Qurãnisasi diri, melalui studi Al-Qurãn, yang disusul dengan shalat tahajud dan witir, maka otomatis kita bisa menghapus dosa-dosa (kesalahan-kesalahan) masa lalu, dan mencegah dosa-dosa masa datang.

O, seperti yang anda tulis dalam kajian surat Al-Muzzammil itu ya?

Iya.

Saya lanjutkan lagi membaca tulisan ini ya?

Ya, ya! Silakan.

“Masalahnya adalah tanggal berapa Lailatul Qadar? Ada 50 pendapat yang berbeda-beda tentang saat terjadinya Lailatul Qadar. Imam Syafii menyatakan tanggal 21 Ramadhan. Ibnu Abbas r.a. mengatakan tanggal 23. Ubay bin Ka’aab r.a. tanggal 27. Ai-syah r.a. berkata bahwa Nabi menyuruh mencarinya di malam-malam ganjil pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Yakni malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Itu kalau bulan Ramadhan lamanya 30 hari. Kalau hanya 29 hari, menurut Ibnu Hazm, 10 hari terakhir dimulai tanggal 20, jadi Lailatul Qadar harus dicari sejak malam ke-20, 22, 24, 26, dan 28. Artinya, bisa saja salah satu malam dari tanggal 20 sampai akhir Ramadhan, baik ganjil maupun genap.

Kalau begitu, bukan tanggung-jawab saya untuk memastikan kebenaran Hadis-hadis itu. Itu tanggung-jawab mereka!

Wah, tampaknya anda menghindar nih!

Bukan, bukan menghindar. Saya kan membahas lailatul-qadr dalam Al-Qurãn, bukan dalam Hadis. Merekalah yang membahas – tepatnya mengajukan –  Hadis. Jadi, anda harus minta pertanggung-jawaban kepada mereka, bukan kepada saya!

Bagaimana jika kajian anda salah?

Saya memang punya kelemahan. Banyak kelemahan. Justru karena itulah, saya menantang para pakar Islam untuk mematahkan argumen saya secara ilmiah. Maksud saya ilmiah Qurãni gitu lho! Itu bisa sekaligus juga mempertanggung-jawabkan konsep (ajaran) mereka sendiri tentang lailatul-qadr itu kan?

Hm, iya, iya!  ∆