MU’AWIYAH BIN ABU SUFYAN



(Tokoh pembaharu yang mengeluarkan Dinul Islam dari pandangan dan sikap hidup NUR mSR kearah Islamisme yang berpandangan dan sikap hidup Dzulumat mSS, QS 2:257)

BAB I
PENDAHULUAN

Catatan emas telah di torehkan umat Islam dalam membangun peradaban di muka bumi ini. Selama hampir 9 abad peradaban Islam menguasai dunia. Bermula dari masa kepemimpinan Rasulullah SAW, Khulafaur Ar-Rasyidin. Sabda Rasulullah bukanlah sekedar ucapan yang berdasarkan nafsu, melainkan berdasakan wahyu kepadanya (al-Najm: 3-4), dalam masalah Khilafah Rasulullah telah membatasinya dengan masa, tidak berlaku untuk selamanya. Rasulullah Saw bersabda: “al-Khilafatu fi ummatii tsalaatsuna sanatan, tsumma mulkun ba’da dzalika”. Artinya: “Usia khilafah dalam umatku adalah 30 tahun, kemudian setelah itu adalah sistem kerajaan” (HR Ahmad No 21978 dan Turmudzi No 2226, ia mengatakan: ‘Hadis ini hasan’)

Adalah Bani Umayyah yang berkuasa selama 90 tahun. Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. sejarah telah membuktikan prestasi yang ditorehkan oleh dinasti Mu’awiyah ini. Dalam waktu 90 tahun dinasti Mu’awiyah mampu menguasai Spanyol sampai dengan India, sungguh prestasi yang nanti nya membuat dendam kesumat yang luar biasa antara pertarungan Islam binaan Muawiyah dengan Eropa hingga sekarang. Bahkan ketika Dinasti Mu’awiyah berada dibawah kekuasaan Al-Walid, seluruh wilayah Afrika Utara diduduki dan pada tahun 91 H / 710 M pasukan Muslim menyebrangi Selat Gibraltar lalu masuk ke Spanyol, kemudian menyebrangi Sungai Pyrenees dan menyerang Carolingian Prancis. Di Timur, seorang wali Arab menyusup melalui Makran masuk ke Sind, menancapkan Islam untuk pertama kalinya di India (Dinasti-Dinasti Islam, 1993). Bagi beberapa kalangan luas wilayah Islam pada masa ini adalah yang terluas dibanding dengan masa kekhalifahan lainnya. Perluasan-perluasan berikutnya hanyalah berupa pengembangan dari luas wilayah yang telah ada. Bahkan pada akhir masa Kekhalifahan Utsmani, wilayahnya semakin menyempit akibat sparatisme dan berkembangnya nation state, sampai akhirnya hilanglah wilayah Kekhalifahan Islam pada tahun 1924 (3 Maret), saat diruntuhkannya Kekhalifahan Utsmaniyyah sehingga wilayah Islam terpecah menjadi negeri-negeri Islam, sampai sekarang. Kejayaan Kerajaan Mu’awiyah hanya sampai Raja Al-Walid. Karena raja-raja setelahnya telah terjagkit penyakit cinta dunia yang menyebabkan keruntuhan dinasti Bani Umayyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Usul dan Perkembangan Dinasti Umayyah

Namanya dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam pemerintahan Islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya dari Ali. Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari Bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah. Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia baru masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam bersamaan dengan Islamnya sang ayah, Abu Sufyan. Pada masa khalifah Usman bin Affan semua daerah Syam diserahkan pada Bani Muawiyah ia diberi kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang membantunya. Dengan demikian ia berhasil mejadi gubernur selama 20 tahun setelah itu berhasil pula menjadi khalifah selama 20 tahun. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Mu'awiyah bukan hanya bermula dari hasil diplomasi yang terjadi pada Perang Shiffin serta terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib melainkan semenjak ia menjadi gubernur yang memiliki kemampuan dalam mengatur administrasi dalam pemerintahan yang memang terlihat semenjak masa Rasulullah. Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu.[1] Beliau mulai memegang tempuk pemerintahan pada masa Khalifah Umar bin Khattab dan menjabat sebagai Gubernur Yordania. Di saat yang sama saudaranya, Yazid juga diangkat menjadi Gubernur Damaskus oleh Saidina Umar. Akan tetapi, Yazid wafat karena panyakit pes yang berjangkit di kota Amuas. Saat itulah Khalifah Umar menggabungkan wilayah Damsyik ke dalam wilayah kekuasaan Mu’awiyah. Ketika menjadi seorang gubernur, Mu’awiyah merupakan sosok pemimpin yang memiliki pribadi sangat kuat dan amat jujur, serta ahli dalam lapangan politik.

Mu’awiyah berhasil memegang kekuasan penuh setelah Hasan bin Ali menyerahkan jabatan itu dengan beberapa syarat, antara lain:
1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Iraq.
2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3. Agar pajak tanah Negeri Ahwaz diperuntukkan padanya dan diberikan setiap tahun.
4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husein bin Ali bin Abi Thalib sebesar 2 juta dirham.
5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih besar dari pada pemberian kepada Bani Abdi Syam.

Di samping berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia di bai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661).[2] Pemerintahan pada masa ini bersifat monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun di mulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Ia bermaksud mengikuti sistem di Persia dan Bizantium. Dia masih tetap menggunakan istilah khalifah tapi dengan menambahkan "Khalifah Allah" dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.

B. Sistem Kepemimpinan dan Penegakan Dinasti

Mu'awiyah adalah penguasa Islam yang pertama yang menggantikan sistem kekhalifahan menjadi sistem Monarkis (kerajaan). Mu'awiyah pernah menegaskan bahwa dirinya adalah seorang raja Islam yang pertama. Ia membentuk sistem kekuasaan berdasarkan garis keturunan dengan menunjuk anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota. Sikapnya menunjuk putra mahkota ini akhirnya menjadi model dan diikuti oleh seluruh penguasa Umayyah sesudahnya. Karenanya Mu'awiyah dipandang sebagai pendiri sistem kerajaan yang turun temurun dalam sejarah umat Islam. Tradisi demokrasi kesukuan nenek moyang bangsa Arab seketika itu hilang untuk selama-lamanya dan digantikan dengan pola kekuasaan individu dan otokrasi. Dalam hal ini Mu'awiyah mengikuti tradisi kekuasaan absolutisme yang berkembang di Persia dan Bizantium. Mu'awiyah setelah menjadi raja tampaknya masih menjalankan kedudukan dan fungsi khalifah, seperti menyampaikan khutbah dan menjadi imam shalat Jum'at, tetapi ia terlalu menjaga jarak dengan kehidupan masyarakat. Mu'awiyah hidup dalam kemewahan istana yang selalu dijaga oleh pengawal bersenjata. Baitul maal dijadikan sebagai harta kekayaan pribadi dan memutuskan segala yang penting hanya menggunakan pertimbangannya sendiri tanpa melalui musyawarah. Disinilah letak perbedaannya dengan pemerintahan masa sebelumnya. Selama memerintah Mu’awiyah berhasil menegakkan kerukunan antar bangsa Arab wilayah utara (Kaisaniyyah) dengan bangsa Arab wilayah selatan (kalbiyah). Sekalipun nasab Mu'awiyah lebih dekat kepada kelompok Kaisaniyyah, namun ia justru mengangkat putra mahkota dari istrinya yang berketurunan Kalbiyah. Selama masa pemerintahannya, penguasa dan rakyat hidup rukun. Ia juga bertindak cukup bijaksana terhadap penganut agama Kristen.

Hal ini terbukti dengan diangkatnya beberapa orang nasrani sebagai pejabat negara, salah satunya menjabat sebagai dewan penasihat.

C. Dinasti-Dinasti Mu’awiyah

1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)

Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Muawiyah meninggal dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.

2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)

Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.

Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali, yang sebenarnya juga sudah disusupi pemahaman Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45). Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang sejarah Islam, yaitu :
1. Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
2. Pelaksanaan Al Ibahat terhadap kota suci Madinah al - Munawarah.
3. Penggempuran terhadap baiat Allah.
4. Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk barisan pelayan rumah tangga khalifah di dalam istana.

Ia meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.

3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)

Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya dalam kurun waktu enam bulan.

4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)

Sebelum menjabat sebagai penasihat Khalifah Utsman bin Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerintahannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.


5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)

Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya. Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya-karya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan Abdullah ibn Zubair.

6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)

Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban Umat Islam. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu pestiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya,benua Eropa,yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia(Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziyad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Cordova,Granada dan Toledo. Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran daulah tersebut.

7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)

Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitarnya. Menjelang saat terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan wazir besar. Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan Ibukota Constantinopel gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jam’iul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.

8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)

Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman Khulafaur Rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan dunia yang selalu ditunjukkan oleh Bani Umayyah. Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin hubungan baik dengan Syi’ah. Ia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab. Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.

9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)

Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid. Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abbas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun 1 bulan.

10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)

Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga khalifah tidak mampu mematahkannya. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, khalifah-khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya daulah Bani Ummayyah.

11. Walid ibn Yazid (743-744 M)

Daulah Umayyah mengalami kemunduran di masa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh. Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang. Ia sempat meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Ia wafat dalam usia 40 tahun.

12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)

Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan. Ia wafat dalam usia 46 tahun.

13. Ibrahim ibn Malik (744 M)

Diangkatnya Ibrahim menjadi khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan sukarela mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Ia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.

14.Marwan ibn Muhammad (745-750 M)

Ia adalah seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu menghadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendukungnya. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, lalu ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas as-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, ia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H5 Agustus 750 M. Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.[3] Setelah keruntuhan Dinasti Mu’awiyah maka negara Islam terpecah menjadi 30 negara yang terdiri dari beberapa dinasti, yaitu:

a. Dinasti Murabithun (1086-1143)

Dinasti ini perpusat di kota Maraskey, Maroko. Pasukan dinasti murabithun datang dalam rangka membantu umat Islam melawan kerajaan Castilla. Mereka memutuskan untuk menguasai Andalusia setalah melihat Umat Islam terpecah belah.

b. Dinasti Muwahiddun (1146-1235)

Dinasti ini datang menggantikan dinasti Murabithun di Afrika Utara Kemudian juga melanjutkan kepemimpinan di Andalusia. Dimana pada masa ini hidup Ibnu Rusyd, seorang pemikir besar pasa masa itu yang banyak menafsirkan pemikiran Aristoteles.

c. Bani Ahmar (1232-1292)

Pada 1238 Cordova jatuh ke tangan Kristen, lalu Seville pada 1248 dan akhirnya seluruh Spanyol. Hanya Granada yang bertahan di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1232-1492). Kepemimpinan Islam masih berlangsung sampai Abu Abdullah meminta bantuan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella untuk merebut kekuasaan dari ayahnya(Abu Abdullah sempat naik tahta setelah ayahnya terbunuh). Namun Ferdinand dan Isabella kemudian menikah dan menyatukan kedua kerajaan. Mereka kemudian menggempur kekuatan Abu Abdullah untuk mengakhiri masa kepemimpinan Islam.[4] Sejak itu, seluruh pemeluk Islam (juga Yahudi),dikejar-kejar untuk dihabisi atau memilih untuk berpindah agama. Kekejian penguasa Kristen terhadap pemeluk Islam itu dibawa oleh pasukan Spanyol yang beberapa tahun kemudian menjelajah hingga Filipina. Kesultanan Islam di Manila mereka bumi hanguskan, seluruh kerabat Sultan mereka bantai.

Memasuki Abad 16, Tanah Andalusia (yang selama 8 Abad dalam kekuasaan Islam) kemudian bersih dari keberadaan umat Muslim.

D. Karakteristik, Tradisi dan Peradaban Muslim Masa Mu’awiyah.

Sebagaimana khalifah-khalifah sebelumnya, keempat belas Khalifah dari Keluarga Umayyah ini telah menggoreskan sejarah dengan karakteristik tersendiri. Inilah yang kemudian dinyatakan sebagai keberhasilan atau kelemahan dalam keberadaannya.

Sedikit tentang sejarah yang ditorehkannya antara lain;

1. Mulai adanya penyempitan calon-calon yang diajukan sebagai khalifah pengganti khalifah sebelumnya. Yaitu calon-calon tersebut harus berasal dari keluarga Umayyah. Inilah yang dikatakan sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Tetapi sejauhmana penyimpangan tersebut, secara lebih spesifik bahasannya akan diurai di bagian akhir.

2. Perluasan wilayah Islam dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Dalam pemerintahannya selama 90 tahun, wilayah Islam semakin luas. Mulai dari Spanyol hingga India. Penaklukan militer ini berjalan cepat terutama pada pemerintahan Khalifah al Walid. Segenap Afrika Utara diduduki dan pada tahun 91 H / 710 M. Pasukan Muslim melewati Selat Gibraltar lalu masuk ke Spanyol, kemudian menyeberangi Sungai Pyrenees dan menyerang Carolingian Prancis. Di Timur, seorang wali Arab menyusup melalui Makran masuk ke Sind, menancapkan Islam untuk pertama kalinya di India (Dinasti-Dinasti Islam, 1993).Bagi beberapa kalangan,luas wilayah Islam pada masa ini adalah yang terluas dibanding dengan masa kekhalifahan lainnya. Perluasan-perluasan berikutnya hanyalah berupa pengembangan dari luas wilayah yang telah ada.Bahkan pada akhir masa Kekhalifahan Utsmani,wilayahnya semakin menyempit akibat sparatisme dan berkembangnya nation state, sampai akhirnya hilanglah wilayah Kekhalifahan Islam pada tahun 1924 (3 Maret), saat diruntuhkannya Kekhalifahan Utsmaniyyah. Sehingga wilayah Islam terpecah menjadi negeri-negeri Islam sampai sekarang.

3. Pembangunan fisik semakin marak dilakukan. Apabila pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyiddin, pembangunan terlihat lebih fokus kepada pembangunan ruhul-Islam, dalam artian penerapan hukum-hukum Islam di muka bumi, pada masa Umayyah pembangunan fisik dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang. Hal-hal yang khusus antara lain penghijauan daerah Makkah dan Madinah pada masa Khalifah Mu’awiyah, pembuatan mata uang Islam pada masa Khalifah Abdul Malik, penghimpunan hadits-hadits Nabi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Masjid Raya Damaskus didirikan oleh Khalifah Al Walid I serta Madrasah al Nuriyah di Damaskus pun dibangun untuk sarana pendidikan.[5]

E. Yurisprudensi dan Tata Hukum Ajaran Islam Masa Mu’awiyah Politik pemerintahan di masa dinasti Umayyah,

Menurut Imam Az-Zuhri, bahwa pada masa Rosulullah, dan para Khulafaur-Rasyidun yang empat berlaku hukum, bahwa orang-orang kafir tidak mewarisi seorang muslim dan demikian pula seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir. Tapi pada masa pemerintahannya, Muawiyah telah bertindak mewariskan seorang muslim dari seorang kafir tapi tidak mewariskan seorang kafir dari seorang muslim. Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang mengada-ada dalam agama ini telah dibatalkan pada masa Umar bin Abdul Aziz dimasa pemerintahannya.Tapi Hisyam bin Abdul Malik kembali mengubah ketentuan seperti semula, yakni ketentuan di masa Mu’awiyah. Ibnu Katsir berpendapat bahwa Mu’awiyah juga telah mengganti sunnah Rasulullah Saw dan para Khulafaur Rasyidun dalam urusan diyat. Sebelum itu, diyat (denda) pembunuhan terhadap seorang non-muslim yang telah mengikat perjanjian dengan negara Islam, jumlahnya sama dengan diyat seorang muslim. Tapi Mu’awiyah mengurangi sampai setengahnya dan dia mengambil setengah yang lain bagi dirinya sendiri. Begitu bayak prestasi yang ditorehkan oleh Muawiyah, termasuk didalamnya pembagian departemen-departemen dari setiap lembaga yang ada. Termasuk didalamnya adalah pembentukan Al-Nizham al qadha’I, yaitu lembaga bagian penegak hukum. Al-Nizham al qadha’I ini terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat, danal-mazholim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari Al-Qur’an, As-Sunnah, atau Ijma’ atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat,dan pegawai negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera. Pejabat badan al-mazholim disebut qodhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi daripada al-qadha atau al-hisbat. Karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib,bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali.Baik perkara seorang rakyat, atau pejabat yang menyalahgunakan jabatannya.Badan ini enyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang mengambil tempat dimasjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para khatib dan para saksi yang dipimpin oleh al-qadhi al-muzhalim.Artinya,dalam pemerintahan dinasti Umayyah sebagaimana pada periode Negara Madinah, peradilan bebas tetap ditegakkan[6].

F. Faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran Dinasti Mu’awiyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya sampai kehancuran dinasti Umayyah, antara lain :

1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab, yang lebih menekankan pada aspek senioritas. Pengaturan ini dianggap tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pegantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi dimasa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka, seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasan bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

3. Pada masa kekuasan Bani Umayyah, pertentangan etnis anggota suku Arabia Utara (bani Qays) dan Arabia Selatan (bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapatkan kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan Mawali (non arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas dengan status mawali itu. Hal tersebut menggambarkan status inferioritas ditambahkan dengan keangkuhan bangsa Arab yang di perlihatkan pada masa Umayyah.

4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah yang disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.

5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oeh keturunan Abbas ibnu Abdul Al- Muthalib. Gerakan ini mendapatkan dukungan penuh dari Bani Hasyim, golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.

G. Peninggalan Bersejarah Bani Ummayah

Pada masa Bani Umayyah pembangunan fisik juga mendapatkan perhatian yang besar. Dengan berpindahnya pusat kekuasaan keluar dari Jazirah Arab, pembangunan fisik juga tidak terpusat di Jazirah Arab saja. Usaha yang dilakukan oleh Bani Umayyah dalam kaitannya dengan keberadaan bangunan bersejarah adalah :
1. Mengubah Katedral St. John di Damaskus menjadi masjid
2. Menggunakan Katedral Hims sebagai gereja sekaligus masjid
3. Merenovasi Masjid Nabawi
4. Membangun Istana Qusayr Amrah dan Istana al-Musatta yang digunakan sebagai tempat peristirahatan di padang pasir. Bukti-bukti peninggalan tersebut menunjukkan bahwa pada masa Bani Umayyah umat Islam sudah mencapai tingkat peradaban yang tinggi. Hal itu menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan yang ada pada saat ini.


BAB III
PENUTUP

Dinasti Umayyah menguasai dunia selama kurang lebih 90 tahun, dalam kurun waktu 90 tahun itulah berbagai macam perubahan (Sifatnya Fisik-material) telah dilakukan oleh Mu’awiyah dan juga penerus dinasti Umayyah. Perubahan Prinsipil yang seharusnya tidak ia lakukan, yaitu tentang sistem pemerintahan yang ternyata sangat mempengaruhi kehidupan umat Islam di seluruh belahan dunia hingga saat ini. Seperti yang kita ketahui bahwa keberhasilan umat Islam dalam membangun peradaban terletak pada masa kekhalifahan yang dimulai oleh Rasulullah Saw dan kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Perubahan Prinsipil yang dilakukan Mu’awiyah telah menggerogoti sendi2 dasar & Pedoman Allah/Quran & keTinggian Islam, karena dengan berubahnya sistem pemerintahan dari khalifah menjadi kerajaan turun-temurun atau sistem demokrasi (musyawarah) menjadi sistem monarki (turun temurun) menjadikan umat Islam yang begitu kuat dengan Persaudaraannya menjadi mudah dihasut. Sehingga menimbulkan pemberontakan yang mengatas namakan kebenaran. Dan terbukti,salah satu faktor runtuhnya Dinasti Umayyah adalah terjadinya perebutan kekuasaan antara anak-anak dan cucu-cucu dari Mu’awiyah. Saat ini banyak diantara umat Islam yang ingin membangun kembali Khilafah yang telah runtuh dan mengikrarkan peradaban Islam didunia, tapi tidak memiliki kemampuan yang cukup dan tidak memiliki pondasi yang kuat. Mu’awiyah telah melanggar Prinsip Quran & menerapkan sistem pemerintahan kerajaan ini dengan mampu menaklukan seluruh Negara Afrika bagian Utara, dikuasainya Spanyol dan masih banyak lagi yang telah ditaklukan. Hanya saja kini semua telah kembali ke masa awal sampai tidak ada sedikitpun bukti keberadaan Islam di Spanyol. Inilah hal yang sangat disayangkan.
====================================================

Bani Umayah adalah salah satu kabilah suku Quraisy. Kabilah ini sangat besar dan memegang peranan penting dalam kekuasaan politik dan ekonomi bangsa Arab. Sebenarnya Bani Umayah masih ada hubungan darah dengan Bani Hasyim, dimana Nabi Muhammad saw berada di dalamnya. Meraka sama-sama keturunan Abdi Manaf. Tetapi kedua kabilah ini selalu bersaing untuk berebut pengaruh dan kehormatan dari masyarakat kota Makkah. Di dalam peersaingannya Umayah selalu pada pihak yang unggul, karena didukung oleh kemampuan memimpin dan kekayaan yang cukup, dan juga keturunan yang banyak. Sehingga mereka selalu berpotensi menjadi pemimpin masyarakat Makkah. Pada masa puncak kepemimpinannya, kabilah ini selalu berhadapan dengan dakwah Nabi Muhammad saw. Mereka yang paling gigih menolak dan menghalangi da’wah Nabi Muhammad saw, yang saat itu dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb bin Umayah.

Abu Sufyan ini baru memeluk Islam dan tunduk kepada Nabi Muhammad saat Fathu Makkah. Meskipun begitu Nabi Muhammad saw tetap memerankan Abu Sufyan sebagai pemimpin Makkah. Pada saat itu ketika seluruh penduduk Makkah merasa ketakutan, Nabi Muhammad berkata, bahwa barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia akan selamat. Artinya bahwa keberadaan Abu sufyan adalah tetap pemimpin Makkah, meskipun ia tunduk kepada kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah tidak lagi sebagai pempimpin bangsa Arab. Pada saat itu kepemimpinan Islam dan bangsa Arab, tidak memperhatikan asal-usul kabilah dan kesukuan. Proses rekrutmen pempimpin didasarkan pada kemampuan dan kecakapan.

Meskipun Utsman bin Affan adalah dari keluarga Bani Umayah, tetapi ia tidak pernah mengatasnamakan diri sebagai Bani Umayah.

Begitu juga Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai gubenur Siriya adalah kerena kecakapannya. Ambisi Bani Umayah untuk memimpin kembali muncul ketika mereka sudah mempunyai kekuatan besar. Dengan berbagai upaya, mereka menyusun kekuatan dan merebut kekhalifahan umat Islam. Usaha ini akhirnya berhasil setelah Hasan bin Ali mengundurkan diri dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang dikenal dengan istilah Amul Jamaah.

Daulah Bani Umayah berdiri pada tahun 41H / 661 M. didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ia adalah gubernur Syam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Selama ia menjabat gebernur, ia telah membentuk kekuatan militer yang dapat memperkuat posisinya di masa-masa mendatang. Ia tidak segan-segan menghamburkan harta kekayaan untuk merekrut tentara bayaran yang mayoritas adalah kelurganya sendiri. Bahkan pada masa Umar bin Khattab, ia mengusulkan untuk mendirikan angkatan laut, tetapi Umar menolaknya. Dan angkatan lautnya berhasil didirikan ketika masa pemerintahan Utsman bin Affan.

Proses Berdirinya Daulah Bani Umayah Bagian 2

Ketika masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah diberhentikan, dan digantikan oleh Sahal bin Hunaif. Pemecatan Ali atas Mu’awiyah ini didasarkan pada pengamatan beliau, bahwa pada hakikatnya penyebab kekacauan dan pemberontakan adalah akibat ulah Mu’awiyah dan para gubenur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Bahkan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan adalah akibat kelalaian mereka. Mereka tidak berbuat banyak, ketika keadaan Madinah sangat genting, padahal mereka mempunyai pasukan yang kuat.

Mu’awiyah dan penduduk syam tidak puas dengan pemecatan ini, dan menolaknya. Ia mengembalikan utusan khalifah dengan mengirimkan surat penolakan melalui kurir yang sekaligus kurir tersebut mempropagandakan pembangkangan terhadap Khalifah Ali.

Mereka menuntut Ali bin Abi Thalib untuk mengungkap dan menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman bin Affan. Apabila Ali tidak bisa mengungkapnya, maka Ali dianggap bersekongkol dengan pemberontak dan melindungi pembunuh Utsman. Propaganda mereka diperkuat dengan membawa jubah Utsman yang berlumuran darah dan potongan jari istri Utsman yang putus akibat melindungi suaminya dari usaha pembunuhan.

Mu’awiyah berhasil mempengaruhi massa yang kemudian mereka berpendapat bahwa Ali tidak mampu menyelesaikan kasus terbunuhnya Utsman bin Affan. Mereka menganggap bahwa Ali ikut terlibat dalam pemberontakan untuk mengguligkan Khalifah Utsman bin Affan.

Mu’awiyah kemudian mengumpulkan pendukungnya dan mempersiapkan diri untuk memerangi Ali bin Abi Thalib. Ia berhasil menarik simpati penduduk Syria, dan merekrut tokoh-tokoh seperti Amr bin Ash dengan tawaran jabatan yang strategis.

Melihat kondisi ini Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim utusan Jarir bin Abdullah ke Damaskus untuk memperingatkan Mu’awiyah, dan ancaman Khalifah akan mengirim pasukan untuk menggempur Mu’awiyah bila tetap membangkang. Akan tetapi Mu’awiyah malah mengkonsolidasikan pasukannya dan berniat memerangi Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat tidak akan melakukan baiat sebelum Ali berhasil menuntaskan kasus pembunuhan terhadap Utsman. Bila tidak, maka bukan baiat yang terjadi melainkan perang.

Setelah Khalifah Ali mendengarkan informasi yang dibawa oleh Jarir sekembalinya menghadap Khalifah, maka menurut Ali tidak ada pilihan lain kecuali memberangkatkan pasukan untuk memerangi Mu’awiyah gubernur Syam yang membangkang. Kedua pasukan ini bertemu di lembah sungai Eufrat yang bernama Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan berperang dan saling berusaha mengalahkan lawan masing-masing. Dan karena nama tempat inilah, sehingga perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dikenal dengan nama perang Shiffin.

Pertempuran sesama pemimpin Islam ini berlangsung sangat sengit. Kedua pasukan mempunyai kekuatan yang berimbang, tetapi pada hari-hari berikutnya pasukan Mu’awiyah mulai terdesak. Menghadapi situasi begini Amr bin Ash dari pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian dengan mengangkat AlQur’an di ujung tombak, yang menandakan bahwa Al Qur’an akan dijadikan tahkim untuk menyelesaikan masalah ini. Pasukan Mu’awiyah menyetujui dan bermaksud menghentikan peperangan. Sementara Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa yang demikian ini hanya tipu muslihat, karena mereka sudah mengalami kekalahan.

Ali bin Abi Thalib meyerukan untuk terus melanjutkan peperangan sampai dapat mengalahkan Mu’awiyah. Akan tetapi sebagian pasukan Ali mulai menghentikan peperangan, mereka ingin perselisihan ini diselesaikan lewat perdamaian dengan Al Qur’an sebagai tahkimnya. Dan sebagian yang lain tetap ingin melanjutkan peperangan, sebab kemenangan sudah ada dipihaknya dan mereka menganggap upaya Amru bin Ash itu hanya tipu muslihat. Melihat perpecahan pasukannya ini dan desakan untuk menyelenggarakan tahkim, akhirnya Ali terpaksa menghentikan peperangan dan mengadakan tahkim.

Pertemuan untuk menyelesaikan krisis antara Ali dan Mu’awiyah dilaksanakan di suatu tempat di selatan Syria yang disebut dengan Daumatul Jandal. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asy’ari seorang sahabat besar yang alim dan taqwa, tetapi ia bukan politisi,dan tidak memiliki kekuatan dlm beragumentasi dan berdiplomasi. Sedangkan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amru bin Ash seorang politisi yang licin, ahli strategi, dan mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat kuat. Kemudian masing-masing pihak mengirimkan utusan sebagai saksi 400 orang.

Proses Berdirinya Daulah Bani Umayah Bagian 3 – End

Di dalam perundingan kedua utusan sepakat, bahwa pangkal persoalan yang tengah melanda umat Islam adalah soal pemimpin, oleh sebab itu cara yang terbaik adalah menurunkan kedua pemimpin itu dan membentuk lembaga Syuro untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam. Kesepakatan ini kemudian dinyatakan bersama-sama di muka umum. Untuk yang pertama Abu Musa Al Asy’ari menyampaikan, bahwa untuk mengembalikan suasana kedamaian, maka Ali bin Abi Thalib diminta turun dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada lembaga syura yang akan memilih khalifah. Begitu juga Mu’awiyah diminta untuk meletakkan jabatannya agar suasana menjadi aman dan damai. Tetapi ketika giliran Amru Bin Ash menyampaikan, ia meminta agar Ali bin Abi Thalib mengundurkan diri dari khalifah, sementara Mu’awiyah tidak perlu mengundurkan diri, karena ia hanya sebagai gubernur bukan khalifah.

Pernyataan ini ditolak oleh Ali bin Abi Thalib, karena dianggap tidak adil dan merugikan pihaknya. Para pengikut Ali menyadari bahwa perundingan itu hanyalah tipu daya amr bi Ash saja. Mereka banyak yang kecewa dari pelaksanaan tahkim itu. Mereka menuntut keadilan, dan meminta pertanggung-jawaban orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Orang-orang yang kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai oposisi dan keluar dari barisan Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka disebut dengan kaum Khawarij, artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian pasukan Khalifah menjadi terpecah dan lemah, sehingga tidak mampu lagi mengalahkan pasukan Mu’awiyah.

Orang-orang yang kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai oposisi dan keluar dari barisan Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka disebut dengan kaum Khawarij, artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.

---

Setelah peristiwa tahkim, kelompok Khawarij yang merasa tidak puas atas hasil perundingan tersebut ingin menyelesaikan masalah konflik umat Islam ini dengan caranya sendiri. Mereka menganggap bahwa orang-orang yang terlibat dalam tahkim telah keluar dari agama Islam, karena tidak bertahkim tidak menggunakan AlQur’an. Mereka menyusun kekuatan dan merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Ketiga orang ini yang paling bertanggung jawab atas adanya tahkim, mereka dianggap telah kafir dan berhak untuk dibunuh.

Untuk membunuh tiga orang itu, Abdurrahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, di Kufah. Al Hajjah bin Abdillah At Tamimi ditugasi membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syiriya. Dan Amir bin Abu Bakr ditugasi ke Mesir untuk membunuh Amr bin Ash. Akan tetapi hanya Abdurrahman bin Muljam yang berhasil menyelesaikan tugasnya. Ia berhasil membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika beliau sedang Shalat Shubuh 15 Ramadlan 40 H. Sementara dua utusan yang lain gagal untuk membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena ia sedang tidak keluar shalat shubuh, dan satunya terbunuh lebih dahulu sebelum berhasil membunuh Amr bin Ash.

Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh bekas pengikutnya sendiri ini, maka keadaan poilitik umat Islam semakin tidak menentu, dan kekacauan semakin meluas. Oleh sebab itu para pengikut Ali bin Abi Thalib dan umat Islam di Kufah, Bashrah dan Madinah melakukan baiat kepada Hasan bin Ali sebagai khalifah menggantikan ayahnya. Baiat yang di pimpin oleh Qais bin Saad ini bukan merupakan rekayasa, tetapi karena tidak ada pilihan lain saat itu. Umat Islam menyadari, bahwa Hasan bukan tokoh yang tegas dan tegar seperti ayahnya, tetapi umat Islam membutuhkan pemimpin yang kharismatik dan shalih.

Pengangkatan atas Hasan bin Ali sebagai khalifah ini tetap tidak mendapat persetujuan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya. Mereka berharap sebagai pengganti Ali adalah Mu’awiyah. Oleh sebab itu Mu’awiyah berusaha merebut kekuasaan dari Hasan, dengan cara membendung arus masa pendukung Hasan, khususnya dari Kufah dan Bashrah. Ia sudah mempunyai kekuatan yang besar, sementara Hasan mempunyai banyak kelemahan dan tidak sekuat ayahnya. Kondisi yang demikian ini tidak disia-siakan oleh Mu’awiyah. Ia segera menyusun pasukan untuk menyerang Hasan bin Ali.

Melihat kondisi demikian, Qais bin Saad dan Abdullah bin Abbas mengusulkan kepada Hasan agar melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang Mu’awiyah. Usul kedua tokoh ini diterima oleh Hasan, yang kemudian ia memberangkatkan pasukan dengan kekuatan 12000 tentara di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut. Pasukan Hasan ini kemudian bertemu dengan pasukan Mu’awiyah dan terjadilah pertempuran di Madain.

Mu’awiyah tidak hanya melakukan peperangan fisik, tetapi mereka menggunakan perang urat syaraf (psy war) dengan menyebarkan berbagai macam isu untuk melemahkan kekuatan pasukan Hasan. Akibatnya pasukan Hasan terpengaruh dan mulai lemah dalam peperangan, mereka ingin mengakhiri peperangan, bahkan sebagian mulai berbalik dengan tidak menyukai Hasan. Sehingga Hasan akhirnya terpaksa memlilih jalan negosiasi dengan Mu’awiyah untuk mengakhiri perseteruan di antara mereka.

Hasan bin Ali mengirim utusan Amr bin Salmah untuk mengajak perdamaian. Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan berbagai persyaratan, antara lain menyerahkan harta baitul Maal kepada Hasan untuk menutup kerugian peperangan yang dilakukannya. Dan pihak Mu’awiyah tidak mencaci maki bapaknya dan keluarganya lagi. Muawiyah juga harus meneruskan kebijakan ayahnya terhadap para ahli Madinah, Kufah dan Bashrah untuk tidak menarik sesuatu dari mereka. Dan yang paling penting permintaan Hasan adalah sepeninggal Mu’awiyah menjadi Khalifah, kekhalifahan harus diserahkan kepada Umat Islam melalui pemilihan umum.

Semua permintaan Hasan ini disetujui oleh Mu’awiyah. Kemudian keduanya bertemu di salah satu tempat yang dikenal dengan nama Maskin untuk mengadakan serah terima kekuasaan dan kemudian Hasan melakukan baiat kepada Mu’awiyah sebagai Khalifah. Hasan kemudian meminta para pendukungnya untuk melakukan baiat kepada Mu’awiyah sebagai Khalifah umat Islam. Akan tetapi karena alasan-alasan tertentu tidak semua pendukung Hasan bersedia melakukan bai’at, khususnya ahli Bashrah. Mu’awiyah terus mempropagandakan dirinya untuk mendapatkan pengakuan sebagai khalifah. Karena bagaimanapun juga Hasan sudah menyerahkan kekhalifahan kepadanya.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 41 H/661 M. ini dikenal dengan nama Amul Jamaah, artinya, tahun di mana umat Islam bersatu kembali dalam satu kepemimpinan. Jabatan tertinggi umat Islam secara de facto dan de jure berada di tangan Mu’awiyah bin Abi sufyan. Terlepas apakah untuk memperoleh kekuasaan itu dilakukan dengan cara paksa atau tidak, dan terlepas apakah persyaratan yang diminta oleh Hasan akan dipenuhi oleh Mu’awiyah atau tidak, yang jelas kekuasaan khilafah dipegang oleh Mu’awiyah, dan sudah tidak ada lagi kelompok yang mengaku berkuasa dan menentangnya.

Umat Islam mulai dengan lembaran baru. Daulah Bani Umayah berdiri (41 – 132 H/661 – 750 M.) Tatanan politik dan pemerintahan yang dibangun oleh Khulafaur Rasyidin berubah dengan sistem politik dan pemerintahan baru yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para khalifah penggantinya. Daulah Bani Umayah berkuasa selama 90 tahun dengan empat belas khalifah, yaitu :

* Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41 – 60 H / 661 – 680 M)
* Yazid bin Mu’awiyah (60 – 64 H / 680 – 683 M)
* Mu’awiyah bin Yazid (64 H / 683 M)
* Marwan bin Hakam (64 – 65 H / 683 – 685 M)
* Abdul Malik bin Marwan (65 – 86 H. / 685 – 705 M)
* Walid bin Abdul Malik ( 86 -96 H / 705 – 715 M )
* Sulaiman bin Abdul Malik ( 96 – 99 H / 715 – 717 M )
* Umar bin Abdul Aziz ( 99 – 101 H / 717 – 720 M )
* Yazid bin Abdul Malik (101 – 105 H / 720 – 724 M )
* Hisyam bin Abdul Malik (105 – 125 H / 724 – 743 M )
* Walid bin Yazid ( 125 – 126 H / 743 – 744 M )
* Yazid bin Walid ( 126 – 127 H / 744 M )
* Ibrahim bin Walid ( 127 H / 744 – 745 M )
* Marwan bin Muhammad (127 -132 H / 745 – 750 M )