“Sebagai koreksi sebagian artikel yang
berjudul Latar Belakang Bangsa Indonesia,
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada masa kekuasaan Bani Muawiyah”.
Terdapat tiga
teori yang cukup popular:
1. Islam
masuk ke Indonesia dari Persia pada abad ke XIII.
2. Islam
masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Daerah Gujarat,
Bengali, dan Malabar merupakan asal masuknya Islam di Nusantara.
3. Islam
datang langsung dari Arab pada abad ke VII. Islam masuk ke Indonesia pada masa
abad pertama Hijriah bahkan pada masa Khulafaur Rasyiddin.
Manakah teori yang sebenarnya?
Seorang ahli
sejarah bernama Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum
abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur
perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan
Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman
Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur
membuktikan hal ini.
Di lain pihak
Hamka mengungkapkan, seorang pencatat sejarah Tiongkok pada tahun 674 M telah
menemukan satu kelompok Bangsa Arab yang berdiam di pesisir Barat Sumatera. Hal
yang sama juga diungkapkan G.R. Tibbetts
yang tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para
pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada
zaman pra Islam.
Dari bukti-bukti
di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada masa
Rasulullah masih hidup. Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa
Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan
Madinah. Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Islam di
Nusantara bukan berasal dari para pedagang India karena para pedagang yang
datang dari India, sebenarnya berasal dari Jazirah Arab yang sebelumnya singgah
dulu di India.
Berdasarkan
pemaparan dan hasil riset dari sejumlah ahli sejarah di atas sekaligus menepis
pendapat dari Snouck Hurgronje yang menyebutkan bahwa Islam masuk Nusantara
pada abad ke-14. Padahal Islam di Indonesia telah masuk saat Rasulullah SAW
masih hidup, yakni di abad ke-7.
……………………………….
Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat
Rasulullah SAW Masih Hidup (Bag.1)
Rizki Ridyasmara
– Senin, 8 Rabiul Awwal 1428 H / 26 Maret 2007 14:01 WIB
Islam masuk ke
Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori
masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori
Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi
buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga
lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah
Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang
seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini
bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa
Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini
seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah
pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu,
telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab.
Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku
Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006)
yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara,
Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan
banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood
menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang
berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah
berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa
tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman
sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan
kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana
keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang
perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti
Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini
dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering
dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM,
para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para
pedagang dari Cina.
Masih
menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama
pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah
pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha
Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607
Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi,
“kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah
berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa
sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri
baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada
tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode
ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di
Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di
Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan
pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R
Tibbets
Adanya jalur
perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga
diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan
tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari
Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra
Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab
dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini
terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan
kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima
Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan
adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen
kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau
sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu
pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah
terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah
ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan
wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di
perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan
asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan
lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari
perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an
dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren,
umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini
diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok
yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang
membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA
menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah
masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini
telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di
Princetown University di Amerika.
Pembalseman
Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai
literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera
itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah
kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414
kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya.
Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh
Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin
Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di
Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh
literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan
sebagainya.
Sebuah peta kuno
yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani
yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah
menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga
bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan
dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu
telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman
kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku
Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya
agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di
kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin
wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus
sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim
Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis
yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
(PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi,
Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa
seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis,
Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut
menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan
tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan
sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan
sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan
pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha
Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar.
Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau
pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja,
adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat
yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang
akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz, Bersambung)
……………………….
Islam Masuk ke Nusantara Ketika Rasulullah
SAW Masih Hidup (Bag.2, Tamat)
Rizki Ridyasmara
– Rabu, 10 Rabiul Awwal 1428 H / 28 Maret 2007 14:23 WIB
Sejarahwan T. W.
Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan
bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab
ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad
ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah
negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu
Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di
Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese
and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya,
di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang
Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan.
Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M
(S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti
di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa
Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:
Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian
menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya
berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal
pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari
Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur
kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di
pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW
memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat
sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan
zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf
Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun
30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian
oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang
dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4)
Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh
Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang
tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang
berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin
Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah
di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat
bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak
kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang
tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu
gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian
Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu
dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah
ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang
berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini
memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz
naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh
pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas
Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang,
cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara
berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para
pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal
al-Qur’an.
Menengok catatan
sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa
atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari
agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu
bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi
dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan
kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama
yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi
baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana
nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari
Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan
transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai
hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat
adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat
mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas,
setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang
terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam
masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat
Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah
yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk
ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan
Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad
diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah
ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga
bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah
ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau
negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu,
ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para
pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan
tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur
kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta
Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa
duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651
Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah
Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta
Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera
pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang
duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan
kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang
kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi
untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan
Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar
Tempat Singgah
Jelas, Islam di
Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan
dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan
berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori
Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang
dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam
perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang
ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung
besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat
berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas
Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab
menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum
meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di
Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar
ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada
yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini
hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang),
lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan
letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak
zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka,
pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri
pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika
Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para
pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan
Serambi Makkah.(Rz, Tamat)
Posting Komentar
Posting Komentar